Wednesday, October 1, 2014

Friday, June 20, 2014

Friendship? (Cerpen)

            “Kamu sudah makan?”
            “Sudah. Kamu?”
            “Sudah sebelum jemput kamu kesini. Mau kemana kita?”
            “Bukannya kita tidak pernah berencana tiap kali akan pergi bersama?”
            “Tapi aku yang menyetir, Sayang. Lalu akan dikemanakan mobil ini?”
            “Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kamu bukan pacarku”

         Ada senyum simpul yang mengembang di bibir laki-laki itu saat aku mengucapkan kalimat barusan. Aku hanya memalingkan wajah sembari tertawa tanpa suara. Kami selalu seperti ini. Mendeklarasikan diri tidak sebagai sepasang kekasih. Memang, kami bukan sepasang kekasih. Kami hanya dua orang yang saling terjebak dalam zona berteman yang kami ciptakan sendiri. Tapi apa ada dua orang berteman yang menyebut diri mereka sebagai “kami”? Bukan Aku dan Dia? Entahlah. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Kami merasa nyaman berada di pusaran yang sama tanpa satu pun ingin melepaskan diri.
            “Tadi sebelum aku kesini.....”
            Ia mulai bercerita. Aku akan dengan sendirinya memutar kepala ke arah kanan meskipun aku tahu ia takkan melakukan hal yang sama melihat ke kursi penumpang di sebelah karena fokus dengan jalanan di depan. Ia hanya akan sesekali menoleh beberapa detik, tersenyum atau tertawa, lalu akan bertanya mengapa aku memandanginya seperti itu. Konyol bukan? Aku hapal mati urutan kejadian yang biasa terjadi diantara kami.

     “Kamu kenapa sih ngelamun gitu? Galau?”, oloknya sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi.
          “Aku cuma bingung akan kemana kita”
        “Astaga!”, serunya sembari menepuk dahi. Ia lalu tertawa renyah menertawakan kebodohannya yang belum mengaktifkan aplikasi peta di ponsel. Ia dan aku sama-sama tidak mengenal daerah ini. Kota ini. Kota yang meskipun lalu lintasnya salah satu yang terpadat di dunia, tapi masih terlalu asing bagiku yang baru saja menjadikannya tempat menuntut ilmu sementara waktu. Seperti biasanya ia akan menyetir lalu aku akan membaca peta –tidak benar-benar membaca karena sesekali kuperlihatkan rute perjalanan ini padanya, aku tidak pandai membaca peta-, lalu hari kami akan berjalan cepat seperti biasanya. Matahari akan begitu egois ingin berganti tugas dengan bulan, membiarkan kami meratapi mengapa begitu cepat malam datang. Saat berjalan beriringan, kami akan bercerita mengenai apa saja. Lalu kami akan berbagi senyum dan tawa. Entah apa yang dirasakannya, tapi menurutku saat-saat berbagi rindu seperti ini sangat menyenangkan. Aku tidak bisa melihatnya setiap hari, begitupun dia. Kami tidak terpisah jarak yang terlampau jauh, tapi kami tidak bisa menemui satu sama lain setiap harinya. Aneh, bukan? Tapi itu yang membuat setiap pertemuan terasa berkesan. Kenyataan bahwa kami tidak akan bertatap muka langsung setiap harinya membuat kami menghargai setiap detik dari pertemuan.

            Saat duduk berdampingan lagi di jalan pulang, kami akan diam. Mengunci bibir dengan ekpresi wajah datar agar satu sama lain tidak tahu jika sebenarnya kami tidak ingin pertemuan hari ini berakhir. Saat puluhan mobil berjalan merambat di lalu lintas yang padat, tangan kirinya akan menggenggam jemariku. Bukan genggaman yang kuat, namun jenis genggaman yang didalamnya terdapat banyak kata yang tidak tersampaikan.
            “Kamu hati-hati ya. Jangan melamun kalau sedang menyetir. Beritahu aku kalau sudah sampai di rumah”, ucapku lirih ditelan suara penyiar radio. Ucapan selamat tinggal yang begitu ku benci tapi harus ku ucapkan juga.
            “Bisa tidak ya waktu dihentikan?”, ujarnya pelan.
            “If you could do that, would you?”. Aku balik bertanya.

           Saat mobil ini berhenti di tempatku tinggal, kami akan bertatapan sesaat. Lalu aku akan menyesali begitu banyak kata yang tidak bisa ku ucapkan selama beberapa jam bersamanya tadi. Entah mengapa lidahku kelu saat bersamanya hingga begitu sulit hanya untuk sekedar berkata ‘rindu’ atau ‘butuh’. Kemudian bisikan-bisikan kecil kembali menelusup ke sela-sela otakku mengatakan bahwa tidak seharusnya aku merasa begini. Tidak seharusnya aku merasa rindu berlebihan pada seorang teman. Tidak seharusnya aku menatap kosong pada dirinya yang semakin menjauh dan jarak  yang semakin merentang luas diantara kami. Dia itu temanku. Sekat antara kami sangat tipis hingga orang lain terkadang salah sangka dan harus melihat lebih dekat bahwa kami sebenarnya tidak lebih dari dua orang yang sering menghabiskan waktu bersama tanpa ikatan apa-apa.

            “Are you guys in a relationship?”. Begitulah kira-kira yang selalu dipertanyakan orang-orang ketika melihat kebersamaan kami. Terkadang aku pun heran, apa salahnya jika temanku ini tahu benar kebiasaanku dan aku pun hapal makanan kesukaannya. Apa yang salah dari teman yang setiap harinya mengucapkan selamat pagi dan tidak lupa mengingatkan makan? Tapi aku mengerti benar, jika kami punya cukup keberanian, tidak sulit untuk membuat hubungan ini “berbentuk”. Lalu jika diberondong pertanyaan demikian, dia hanya akan tertawa jahil dan aku hanya akan menjawab, “Not that kind of relationship.” Tapi tidak satupun diantara kami berniat mendeklarasikan Ya atau Tidak, karena kami memang berdiri di tengah-tengah sekat pembatas yang jelas, namun tidak kasat mata.
           



Sunday, June 15, 2014

Untold Words for Catty

Hi, Catty.

I know you see me while I'm writing this. I know you are right there wherever I go. I know we never "communicate" properly since you showed me your existence. And maybe its good for now cause I'm still shocked to death whenever you appeared in my dreams or simply wake me up in several mornings. Let us do this slowly. Let me adapt on your presence.

Right now, in this moment, I barely think about words you told me that night. You revealed things I've been thinking about. Things and people I doubt. I'm scared knowing your words might be true. Catty, you frightened me a lot. But its funny how those words strengthen me this way. I know you're such a pure spirit and thats why instead of cursing at you, I'd receive your "friend request".

So they tell me you're an imaginary friend? Well I don't think so. You are not just an imaginary object, you are obviously real yet invisible. You are an invisible companion.

Saturday, March 15, 2014

I'm here where I supposed to be

Pernah gak sih lo mikir apakah tempat dimana sekarang lo berada dan apa yang lo lakuin sekarang udah sesuai dengan apa yang lo pengen? Am I right there where I supposed to be? Apakah lo masih berada di satu garis lurus yang udah direncanain sebelumnya atau malah udah melenceng jauh dari jalur? Gue pernah denger banyak cerita tentang ini. Gimana rasanya beberapa temen gue yang ngaku salah ambil jurusan bahkan gimana jadinya beberapa orang yang gue kenal jatuh ke rutinitas pekerjaan yang gak mereka suka sama sekali. Mereka bergerak cuma karena kewajiban, dan berputar cuma karena rotasi bumi yang memaksa. Hasilnya? Sebagian ada yang gak pernah merasa puas dan selalu loncat dari satu tempat ke tempat lain, sebagian lainnya tetap tinggal karena memang gak ada lagi yang bisa dilakuin selain menerima.

Gue jadi inget waktu lagi iseng-iseng main ask.fm dan ngejawabin random questions, tiba-tiba ada pertanyaan kayak gini,

Which do you think is more important: following the dreams your parents want for you or following your own dreams?

Gue sempet bingung mau jawab apa. And then I replied, following the dreams my parents want for me is one of my own dreams.

Like, seriously. Dulu gue pengen banget bikin bangga orangtua dengan cara yang mereka mau, dan orangtua gue pengen banget gue kerja di bidang kesehatan. Cita-cita mainstream layaknya dokter dan teman-temannya. I was thinking that I could be something more than that, but at that time I thought being a doctor  is not really bad. They put a lot of expectations on me, and the only thing that I said is; I will try hard to make your dreams come true, but deep down this is not my dream. So if I couldn’t make it, please let me be what I wanna be.

Saat itu gue udah punya target jurusan yang mau gue ambil. Gue tau jelas apa yang akan gue pilih dan dimana gue akan berada nantinya. Tapi kembali lagi ke statement awal, gue masih pengen bikin bangga orangtua dengan cara yang mereka mau. Dan gue nepatin janji untuk usaha keras supaya apa yang mereka mau bisa terwujud. Jungkir balik gue belajar mati-matian dan sayangnya usaha keras aja belum cukup, gue belum beruntung. Orangtua gue masih belum juga nyerah, mereka gak mau ngelepas gue untuk ngelanjutin kuliah di bidang yang gue suka karena emang gue bakal jauh dari rumah dan jarang pulang. Mereka minta gue ikut tes di Departemen Kesehatan di bagian analis, and I passed the test. But.....I refused it.

Gue punya kesempatan untuk bikin bangga orang tua dengan cara yang mereka mau, tapi sayangnya gue harus nolak. Simply because itu bukan cara yang gue mau. And then more or less I said like this: I’m so sorry but I’ll take my scholarship and be what I wanna be. Aku pengen belajar di bidang yang aku suka, dan aku mau kalian dukung aku. I’ll take this responsibility and I promise I’ll make you proud with my own way. Hasilnya? Gue mungkin gak punya bayangan akan gimana jadinya gue sekarang kalo dulu nerima tawaran itu, tapi gue berani bertaruh bahwa gue yang sekarang jauh lebih baik dari apa yang gue rencanain dulu. Setidaknya gue belajar di bidang yang gue suka dan dengan itu gue bisa bertanggung jawab dengan keputusan yang gue ambil sendiri. Soal masa depan? Gak perlu khawatir, masa depan akan datang dengan sendirinya tanpa perlu diwanti-wanti. Cukup lakuin dan jadi yang terbaik dari diri lo sendiri.

Kembali ke masalah awal, terkadang pasti kita bingung kalo ada di posisi terlanjur ada di bidang yang gak kita suka sedangkan keinginan untuk memberontak semakin besar. Pilihannya cuma ada dua. Yang pertama, lo harus berani ambil resiko untuk keluar dari zona nyaman dan kejar apa yang lo pengen. Misalnya lo punya hobi yang bener-bener bikin lo ngerasa hidup daripada rutinitas yang lo lakuin selama ini, lo selalu punya pilihan kok, masalahnya apakah lo berani atau nggak. Tapi pastiin baik-baik, begitu lo keluar dari lingkungan lo yang sekarang, lo gak akan nyesel dan gak akan bikin kecewa orangtua. Dan pastiin lagi, bahwa lo hanya butuh loncat satu kali, because too much is just too much. Lo gak bisa selamanya terus lari demi gengsi atau tuntutan dari lingkungan yang maksa lo harus jadi apa, kuliah atau kerja dimana cuma karena gengsi pengen ada di tempat yang dianggap orang lebih baik.


Pilihan yang kedua, lo hanya perlu menerima. Ironis memang kalo pada akhirnya apa yang lo suka dan minat cuma bakal jadi hobi, padahal lo punya kesempatan supaya bikin keinginan lo jadi kenyataan. Terkadang beberapa hal gak perlu dipertanyakan dan lo hanya perlu menerima bahwa sejak awal ketakutan lo untuk mengambil resiko jauh lebih besar daripada keinginan lo sendiri. Pada akhirnya lo akan tetap di tempat yang sama dan tertinggal. Kalo gini solusinya tinggal satu, lo harus bisa bikin seimbang keduanya. Kewajiban dilakuin, tapi hobi tetep jalan. Emang susah, tapi itu harga yang harus dibayar karena hidup bakal terus berjalan dan gak peduli lo suka atau nggak. Life goes on, and you have to make so many decisions in every step you’ve taken. Intinya, lo bisa memutuskan untuk mencintai apa yang lo punya sekarang.

Friday, January 10, 2014

Welcoming 2014!

Walaupun sekarang udah lewat sepuluh hari dari awal tahun, tapi gue tetep mau ngucapin selamat tahun baru 2014! Ada  baaaanyak banget momen baik dan buruk yang bisa gue pelajarin dari tahun 2013. Ada waktunya sedih, tapi juga pasti banyak senengnya. I'm so thankful for everything. Kalo kita kilas balik, pasti ada kenangan dan orang-orang yang datang dan pergi di hidup kita selama satu tahun belakangan. Dari yang cuma sekedar say hi karena kebetulan satu kelas di mata kuliah yang sama, temen-kurang-akrab karena ngobrolnya cuma pas ada tugas kelompok doang, ada juga yang dari kenal berubah ke seolah-olah orang lain. Apapun dan dalam bentuk seperti apapun, gue berterima kasih untuk kenangan dari orang-orang yang pergi dan bersyukur untuk orang-orang yang masih tetap tinggal. You cannot force people to stay, can you?

Tahun 2013 adalah tenggang waktu dimana gue harus bisa berkaca bahwa seharusnya gue bersyukur lebih banyak untuk tambahan umur yang dikasih sama Allah SWT. Bisa ngelewatin satu tahun lagi, gue harus lebih bersyukur lagi. Bakal panjang banget kalo gue sebutin harapan-harapan di tahun 2014 ini. Ada banyak harapan untuk diri gue sendiri. Tapi yang jelas, dan ini beneran serius, gue mau perbaikin semua yang kurang baik di tahun lalu. Mungkin itu sifat, kelakuan, atau cara bergaul sama orang-orang disekitar. Gue mau lebih banyak bersyukur daripada ngeluh tapi gak menghasilkan apa-apa. Bismillahirahmanirahim, semoga bisa.

Whatever your resolutions are, I wish you a very happy new year. Cheers!