Wednesday, December 21, 2011

Untuk Ibu, dengan Seluruh Cinta (cerpen)

Dering ponsel membangunkanku di pagi itu. Jarum jam masih bertengger di angka tujuh saat sejenak kulirik. Dengan malas aku yang begitu kelelahan dan masih merasakan kantuk akibat lembur semalam, menggerakkan tangan mencoba menjangkau meja kecil di sebelah tempat tidur. Ah, ternyata adikku yang paling bungsu itu.

"Halo...", ujarku dengan suara serak.

"Assalamualaikum, Mbak. Aku tebak mbak pasti belum bangun kan? Ayo dong mbak udah kepala dua juga!", teriaknya ceria seperti biasanya. Dengan pelan aku menyeret tubuhku sendiri untuk duduk bersandar. Masih pusing sekali rasanya. Ada banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan menjelang akhir tahun.

"Aduh kamu ini ngapain sih pagi-pagi gini nelepon Mbak? Masih ngantuk nih, pake bawa-bawa umur lagi!", keluhku.

"Hehe iseng aja sih. Mbak kapan pulang ke Surabaya? Aku sama ibu udah kangen loh. Ini kan udah mau tahun baru. Kata Ibu semalem mbak gak ngangkat telepon dari ibu ya? Sampe beberapa kali lho ibu nelepon."

"Duh, Tan. Mbak gak tau nih bisa pulang atau nggak tahun ini. Kamu tahu kan ini baru tahun-tahun pertama Mbak kerja di Kedubes, kerjaan mbak masih belum bisa ditinggal. Numpuk! Semalem aja mbak lembur sampe larut, makanya telepon ibu gak sempat mbak angkat", jelasku sambil berjalan ke arah dapur. Sudah hilang rasa kantuk yang sekarang berganti menjadi lapar.

"Ya aku ngerti sih, Mbak. Tapi masa gak ada waktu sama sekali sih? Paling nggak buat ngunjungin ibu lah. Mas Anton yang kerja di Kalimantan sana aja udah pasti bisa pulang minggu depan, masa mbak yang cuma di Jakarta aja gak bisa pulang barang sehari?", terdengar nadanya yang lumayan kecewa atas jawabanku. Aku diam sejenak sambil meneguk susu.

"Pokoknya ntar kalo ada waktu luang mbak kabarin lagi deh. Eh udah dulu ya, Tan. Mbak mau mandi, ada janji soalnya. Thanks for made me awake anyway. Assalamualaikum", ku tutup telepon sebelum mendengar jawabannya.

Namaku Prisil, masih berumur 24 tahun. Sejak lulus SMA aku sudah hidup mandiri di Jakarta. Meninggalkan ibu dan adikku yang berada di kota Surabaya karena Ayah sudah lama meninggal dan anak tertua di keluarga kami sudah bekerja di Kalimantan. Membiayai separuh biaya kuliahku di jurusan Hubungan Internasional dengan hasil jerih payah mengajar kursus bahasa Inggris untuk sebuah bimbingan belajar. Sebenarnya kiriman uang dari ibu di setiap bulannya lebih dari cukup untuk biaya hidupku di Jakarta, tapi rasanya lebih puas jika bisa mencoba membiayai kuliah dengan usaha sendiri. Kini aku sudah bekerja di kantor kedutaan besar untuk Australia di Jakarta dengan gaji berkali-kali lipat daripada saat aku mengajar dulu.

Jalanan di sekitar apartemen masih terlihat sepi saat aku mengedarkan pandangan sambil menyetir. Minggu pagi seperti jalan-jalan utama Jakarta pasti di tutup karena ada program Car Free Day tiap minggunya. Aku membelokkan arah ke jalanan yang tidak terlalu besar lalu menuju ke toko buku kecil yang bernuansa klasik di ujung jalannya. Walaupun tidak berada di kawasan pertokoan, tetapi toko buku ini cukup terkenal dan lengkap.

Ketika akan berjalan ke arah pintu masuk, aku terhenyak melihat seorang ibu berpakaian lusuh duduk di depan sebuah ruko disebelah toko buku. Ia mengelus rambut anak perempuannya yang masih lelap tertidur. Tubuh mereka sama kurusnya, dengan beberapa bagian yang sobek di kaus lusuhnya. Pasti mereka tidak punya tempat tinggal, pikirku. Memandangi mereka begitu menarik, bagaimana keterbatasan masih membuat dua orang tetap bersama.

Setelah mendapat beberapa buku yang ku inginkan, aku menjalankan mobil kembali ke arah apartemen. Pikiranku masih melayang pada percakapanku tadi dengan adikku, dan pemandangan ibu dan anak yang kulihat barusan. Saat lampu lalu lintas berwarna merah, aku kembali tercenung melihat seorang nenek tua menyebrangi jalan dengan kaki rapuhnya. Entah mau kemana dengan tas besar di lengan kirinya.

Tiba-tiba pikiranku melayang pada...Ibu.
Sudah lama sekali aku tidak pulang menjenguk Ibu, sekedar tahu bagaiman kondisi ibu. Menelepon pun sudah begitu jarang. Lalu aku teringat pada masakan ibu, sentuhan ibu, dan belaian lembut ibu saat aku aku lelah tertidur. Ibu yang merawatku dengan penuh kasih sayang saat aku sakit, yang begitu repotnya mengurus segala kebutuhan kami.

Ibu jarang sekali terlihat sedih atau menangis di depan kami, sampai saat aku memergokinya sedang tersedu dalam doa malamnya. Terdengar namaku disebut. Ibu memohon agar aku bis sesukses ayah dulu. Lalu aku teringat pengorbanan ibu. Ibu bekerja untuk membiayai kebutuhan kami sampai kuliah.
Kemudian pikiranku melayang lebih jauh lagi ke masa-masa kecil kami. Ibu yang setiap hari mengantarku ke sekolah, yang begitu bangga saat aku mendapat juara kelas. Ibu dengan mukenahnya.

Air mataku menetes lalu semakin deras mengucur saat membayangkan jika mungkin saja disana ibu sedang sakit, terbaring lemah dan menangis memanggil namaku. Aku terisak dan terus meminta maaf dalam hati. Berharap Ibu mendengarkanku dari sana.

Deru klakson menyadarkanku. Cepat ku hapus airmata dan kembali menjalankan mobil. Aku ingin segera memesan tiket pesawat ke Surabaya, tidak peduli besok bekerja atau tidak. Aku hanya ingin bertemu dan memeluk ibu.
Aku merindukan Ibu.

-----

NB: Selamat Hari Ibu, Mama. Terima kasih untuk apapun selama tujuh belas tahun ini. You are my everything. I love you :")

Monday, December 19, 2011

We never that understand

Apa yang kita lakukan jika sedang merasa sedih? Menangis? Berteriak? Atau hanya diam membisu membiarkan emosi itu meluap dengan sendirinya dalam hati? Disimpan dan dikubur sampai akhirnya benar-benar mati. Kebanyakan orang memilih untuk berbicara. Bicara, komunikasi paling jelas walaupun belum tentu terucap yang sebenarnya. Cukup cari siapa saja yang bersedia mendengarkan dan menampung keluh kesah. Tapi apakah hanya sebatas didengarkan lalu cukup? Tak perlukah kita dimengerti?

Masing-masing orang pasti pernah jadi pendengar seperti itu. Dan kebanyakan juga berkata, "Sabar ya...". 
Well, kita memang tidak pernah benar-benar mengertiMengerti bagaimana sakit itu menerpa diri seseorang, mengerti bagaimana rasa tertusuk itu, mengerti benar apa yang dirasakannya. Kita hanya mencoba memaklumi, berpura-pura merasakan. Pretend to understand. Karena kita memang tidak benar-benar berada di posisinya.

Atau lebih singkatnya, hidup akan terus berjalan tanpa pernah peduli seberapa badai itu menerpa kita. Orang-orang mungkin akan menoleh atau melirik, tapi tidak benar-benar mempedulikan. Manusia akan terus berjalan lurus ke arah jalannya masing-masing.

Saturday, May 7, 2011

Gemblong VS Sushi

Hello ya! As usual, my another unimportant post huhu. Sebenernya ini udah sejak libur panjang anak kelas 3 UN kemaren tapi yaaa karena banyak kendala bla bla bla jadi postingnya pending huhu. Ini sebenernya kerjaan waktu kurang kerjaan (bingung?) ya ceritanya lagi gak ada kerjaan gitu pas liburan jadinya bosen dan si papa tiba-tiba nyuruh bikin gemblong. Hoo aya-aya wae si papa mah. Sok atuh pas sorenya urang bikin gemblong *sundanya keluar* Anyway ada yang masih bertanya-tanya apa itu gemblong yang daritadi gue sebutin? Apakah gemblong itu wadah aer? Itu maksudnya gentong. Maap garing. Awkward. Gemblong itu makanan tradisional yang terbuat dari ubi yang isinya gula merah cair gitu.

Dan inilah kursus masak ala saya,
Bahan :
  • Ubi kuning
  • Gula merah
  • Sedikit tepung terigu supaya adonannya gak lengket

Is it just me atau ini rasanya kayak blog kumpulan resep ya?

Cara bikinnya itu pertama-tama ubinya direbus dulu, terus diancurin. Kalo gak mau repot bisa di-mixer aja. Next, bikin adonan dari ubi yang udah diancurin tadi pake tambahan sedikit tepung, dibulet-buletin terus diisi pake gula merah yang gak cair. Gula merahnya di gerus halus aja. Next, goreng di api yang lumayan gede. Sering-sering di bolak-balik soalnya kalo gak entar matengnya gak rata.



belom digoreng


sering dibolah balik yaaa, tapi pelan aja


taraaaaa! jadi dah


Nah kalo warnanya udah coklat keemasan gitu tinggal diangkat deh. Kalo dipotong atau digigit, dari dalemnya bakal keluar gula merah cair. Then malemnya pengen makan sushi. Restoran sushi langganan gue itu yang di deket hotel Grand Zuri.








pake wasabi enaaak :9


Salmon Maki


So which one do you like the most? Kalo gue sih sama-sama enak, tapi agak kurang suka makanan yang terlalu manis kayak gemblong. Kalopun makan itu juga paling banyak cuma dua biji.