Friday, April 26, 2013

Affair



Dia sangat cantik.
Di depan mataku dia terlihat begitu cantik bahkan ketika sedang mengunyah dengan mulut penuh seperti itu. Kesederhanaannya yang membuatku jatuh cinta. Pemandangan di depanku ini seketika mengingatkanku pada momen pertama kali kami bertemu. Ya, disini. Saat itu aku, laki-laki yang perfeksionis sedang menggerutu sambil terus mengelap kemeja licinku yang tidak sengaja ditumpahi jus tomat. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku harus menghadiri meeting penting bersama para investor. Yah walaupun aku dengan mudah bisa meminta sekretarisku untuk mengambil kemeja cadangan yang berada di lemari kantor, tapi tetap saja aku benci kecerobohan. Walaupun hal itu disebabkan oleh kekasihku sendiri. Saat itu perempuan yang sedang berada di hadapanku ini masih berwujud orang asing yang belum ku kenal. Ia duduk tepat di belakangku, sedang menikmati makan siang bersama teman sekantornya. Masih tergambar jelas di otakku bagaimana dia menertawai tingkah laku-ku yang menurutnya kekanak-kanakan dengan menyalahkan kekasihku yang pada saat itu tidak sengaja menjatuhkan segelas jus tomatnya.
         “Laki-laki kok repotnya melebihi perempuan..”, ujarnya di sela-sela tawa kecil. Aku ingat pada saat itu langsung refleks memutar kepalaku, menatapnya lekat dengan sorot mata yang tajamnya melebihi belati. Beraninya dia berbicara seperti itu. Saat itu yang terpikir di benakku hanyalah bagaimana mungkin ada perempuan yang penampilannya bisa berbanding terbalik dengan derajat kesopanannya. Dalam sekali pandang, orang lain bisa melihat kalau perempuan ini memiliki paras yang bisa dikatakan cantik dan penampilan yang modis. Namun aku bukanlah laki-laki yang bisa dengan mudah terpikat pada penampilan luar. Aku suka perempuan yang memiliki tata krama tinggi walau bukan berasal dari keluarga ningrat. Aku suka perempuan yang anggun dengan menjaga tutur kata serta pembawaannya.
Tapi...perempuan ini berbeda. Pertemuan pertama itu belum juga menyadarkanku bahwa ia nantinya akan menjadi orang yang penting bagiku. Pertemuan kami dilanjutkan dengan hubungan kerja antara perusahaan yang kupimpin dengan perusahaannya. Aku yang begitu logis tidak menganggapnya sebagai kebetulan, maka dari itu ku simpulkan bahwa memang Tuhan sudah menggariskan jalan bagi kami berdua untuk bertemu kembali. Nah, lalu siapa yang menyangka bahwa perempuan yang menurutmu begitu menyebalkan pada awal pertemuan akan menjadi istrimu di masa yang akan datang? Satu tahun sejak pertemuan pertama itu, cincin berlian dariku telah melingkar indah di jari manisnya. Kami jatuh cinta dengan cepat, merasakan bahagia dengan cepat, lalu kehilangan debar-debar itu dengan cepat pula. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa rasakanlah bahagia pelan-pelan, maka jika suatu saat ia hilang dan berganti kesedihan, kau tidak akan jatuh terhempas terlalu kuat.
        Mungkin kesalahan terletak padaku yang tidak bisa mentolerir perbedaan kami. Atau mungkin pada pribadi kami yang terlalu bertolak belakang. Adanya perbedaan justru akan memperindah ikatan suami-istri, bukan? Tapi tidak pada kami. Begitu banyak perbedaan yang kami tekan saat memutuskan untuk menikah –dengan harapan agar hubungan ini malah semakin langgeng dengan perbedaan- malah menjadi bumerang bagi kami sendiri.

         “Aku gak bisa jadi perempuan yang diem aja di rumah. Aku harus kerja!”     

Begitulah katanya saat aku protes ketika jam kerjanya bahkan melebihi aku yang notabene seorang diretur sebuah perusahaan besar. Aku paham bahwa pekerjaannya sebagai creative director sebuah perusahaan penyedia jasa periklanan begitu menyita waktu. Ia juga tipe perempuan yang mandiri dan kuat, namun harga diriku sebagai suami sedikit terhina saat aku sampai di rumah lebih dulu darinya walaupun hari sudah larut malam. Istri macam apa yang tidak menyambut kedatangan suaminya dengan segelas kopi atau pijatan hangat?
 
          “Aku belum siap dengan komitmen untuk jadi seorang ibu”

      Ini yang paling tidak masuk akal. Bukankah tujuan menikah adalah membina rumah tangga dan membesarkan keturunan? Setidaknya begitulah yang diajarkan kedua orangtuaku. Mungkin disanalah letak sisi negatif kemandiriannya. Ia begitu mencintai karir yang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Begitu cintanya hingga rela mengorbankan tahun-tahun pertama pernikahan kami tanpa seorang anak yang begitu ku idam-idamkan. Sekali lagi, aku merasa harga diriku sebagai suami tercoreng. Ini jelas keinginan sepihak.
      Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan saat sepasang matanya menatapku tajam. Pertengkaran hebat terjadi lagi. Debat kecil yang kemudian berubah menjadi teriakan-teriakan penuh amarah. Ah, aku sudah begitu muak padanya. Di hadapanku dia tidak lagi se-memesona dulu. Tidak ada lagi debaran kecil saat kugenggam tangannya. Tidak ada lagi kecupan hangat menjelang tidur. Ia sudah bukan perempuan manis yang sapaannya kutunggu tiap pagi. Setiap kali bertengkar hebat, ego kami melesak kuat hingga entah sudah berapa banyak kata-kata kasar keluar dari mulutku. Ku katakan saja, aku sudah tidak membutuhkannya. Siapa yang butuh seorang istri egois yang bahkan bisa dihitung berapa kali menyiapkan sarapan untuk suaminya? Lagipula aku bisa mendapatkan apapun yang ku mau seperti halnya dia. Kami dua sosok sama namun begitu berbeda.
         Teriakannya membangunkanku dari mimpi. Menyadarkanku pada kenyataan. Sialan! Apa sebegitu kuatnya sosok perempuan itu hingga akhir-akhir ini sering menjadi tokoh utama dalam mimpi burukku?

          “Mas, kamu kenapa? Mimpi buruk?”

     Kepalaku menoleh cepat pada perempuan yang berada dalam selimut yang sama denganku sekarang.
          Simpananku.

Tuesday, April 9, 2013

Hello Goodbye

Bukan. Ini bukan postingan review film semi Indonesia-Korea dengan judul diatas, bukan juga postingan galau karena gue bukan anak galauan. Seems like I'm bored doing nothing (padahal tugas lagi banyak-banyaknya), jadinya mending ada yang ditulis aja. Well actually it isn't topic that I used to post here. Instead of posting my 19th birthday moment as I wish, gue pengen cerita tentang pengalaman temen gue yang kisah cintanya udah kayak Cinta Fitri episode ke-574 (Iya, gue juga gak tau itu episode yang mana). Dia ini temen SMA gue dulu yang sampe sekarang masih suka kontak-kontakan walaupun kita udah kuliah di kota yang beda. Karena gue cuma dapet izin untuk mempublikasikan ceritanya, bukan orangnya, maka kita sebut saja dia Bunga. Gak mau tau, pokoknya sebut aja gitu.

Mungkin latar belakangnya dulu aja ya. Bunga ini orangnya ramah dan easy going. Dia pinter banget bergaul sama siapapun. I mean, siapa aja. Dia bisa dengan mudah akrab dengan orang lain meskipun baru kenal. Saking gaulnya, coba aja lo jalan ke mall sama dia. Lo bakal liat bukti ke-gaulannya waktu dia ketemu sama kenalannya yang sangat banyak sekali banget. Segitu banyaknya sampe mungkin setiap jarak 5 meter bakal ada yang ngenalin dia -bisa jadi adik kelas, temen satu sekolah, mantan, mantan gebetan, sampe kenalan di dunia maya yang biasa kontak lewat jejaring sosial- semua ada. Mungkin karena keramahannya itu juga banyak cowok yang salah mengartikan perhatian yang dia kasih. Kalo bahasa sekarangnya itu, ngerasa di-PHP-in. Pemberi Harapan Palsu, konsep yang sampe sekarang masih gue anggap ambigu. Apa indikator pengukur seseorang bisa dibilang tukang PHP? Mungkin letak kesalahannya bukan pelaku yang menebar harapan, tapi si korban yang terlalu berharap.

Okay, back to our main  point. Si Bunga ini cerita sama gue kalo ada banyak cowok yang ngedeketin dia dengan motif yang macem-macem mulai dari temenan biasa, temen tapi demen, temen dunia maya, modus kakak-adek tapi sayang-sayangan, sampe yang to the point pengen jadi pacar. Tapi si bunga ini orangnya gak mau dikekang. Menurut dia, pacaran cuma bakal bikin hidup jadi gak tenang karena harus ngurusin hal-hal perintilan khas pacaran, seperti: harus kabarin pacar setiap saat, harus laporan lagi dimana-ngapain-sama siapa, harus jaga perasaan biar gak salah paham, dan sebagainya. Nah karena anggapan ini, si Bunga ini jadi males pacaran dan memperlakukan setiap cowok dengan perlakuan yang sama. Baik. Perhatian. Penyayang. Pokoknya sikapnya manis banget kayak gula buatan.

Tapi semua berubah saat... (awas aja kalo dijawab 'negara api menyerang') akhirnya dia menemukan orang yang tepat. Sebut saja dia Jono. Oke, nama 'Bunga' dan 'Jono' memang kurang matching, tapi its okay-lah kalo tampangnya kayak Taylor Lautner. Kenapa gue sebut tepat? Karena cuma sama Jono, dia bisa jadi dirinya sendiri. Karena cuma di diri Jono, Bunga menemukan motif pertemanan yang tulus tanpa embel-embel harus jadi gebetan. Menurutnya Jono itu batu paling bersih diantara batu-batu lain yang dibaliknya ada udang. Mereka dulunya teman satu kelas di SMP dan Bunga mulai berpikir mungkin, di hati Jono-lah dia harus berhenti. Berhenti mencari dan mulai memberikan porsi sayang yang lebih besar untuk satu laki-laki, bukan memperlakukan mereka semua dengan sama.
Nah, waktu Bunga galau apakah bakalan jujur tentang perasaanya ini ke Jono, dia curhat ke gue. Waktu itu gue ketawa sambil bilang, "Rasain lo! Akhirnya mentok juga kan". Tapi si Bunga malah makin galau. Di satu sisi dia pengen jujur tentang perasaannya ke Jono, disisi lain dia takut kalau Jono bukan 'the one' dan rasa itu cuma peluru salah sasaran yang kebetulan nancep di hatinya. Liat temen gue yang galaunya udah akut gitu, gue coba kasih saran untuk yah..seenggaknya kasih kode.

Cowok memang spesies paling gak peka. Gue bilang ke Bunga kalo dengan cara diem gak bisa bikin dia sadar, then you should make a move. Well mungkin agak anti-mainstream kalo cewek duluan yang bikin first move, tapi gue bilang ke dia kalau walaupun kemungkinan terburuknya adalah ditolak, dia bisa ngerasa lega karena beban perasaan yang udah dia simpen selama ini bisa terangkat sedikit. Cinta dipendam kan bisa jadi jerawat.
Akhirnya Bunga mutusin buat ngaku kalo dia sayang sama Jono karena dia yakin banget kalo Jono punya rasa yang sama. Dan respon Jono adalah...pergi menjauh. Tanpa kabar. Tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tanpa salam berpamitan. Di hari Bunga ngungkapin perasaannya, Jono cuma bilang, "Makasih. Tapi aku gak bisa". Setelah itu si Bunga nelpon gue sambil nangis sesunggukan. Dia benci jatuh cinta. Dia ngerasa bodoh karena ngikutin hati untuk ngungkapin perasaan. Dia ngerasa rugi. Kalah.

Disinilah menurut gue dia salah.
Rasa cinta itu anugerah yang diberikan Tuhan. Apapun bentuknya, pada siapapun, dan bagaimanapun hasilnya -entah happy atau sad ending-, cinta tidak pernah salah. Mungkin disini yang salah adalah pelakunya. Mungkin Jono gegabah karena gak bisa menolak dengan cara yang tepat. Mungkin juga Bunga yang gak bisa ngebaca tanda-tanda apakah cinta bakal berpihak sama dia. Atau mungkin waktu bergulir di situasi yang salah? Entahlah. Yang jelas menurut gue bukan cinta yang salah.
Dari Bunga gue belajar kalau Hidup ternyata tidak selalu berjalan sesuai keinginan.