Thursday, July 25, 2013

Perkara Tulis Menulis

Semua orang pasti punya hobi. Mulai dari sekedar hobi-hobi standar semacem baca buku, tidur, nonton film, dan yang paling kompleks, hobi kepo-in orang. Nggak, gue lagi gak pengen bahas postingan nyinyir begituan. Berhubung lagi gak ada kerjaan dan bingung mau nulis apa, mendingan bahas perkara hobi tulis menulis yang udah gue suka sejak jaman pake seragam putih merah dulu.
Mungkin asal mula gue suka nulis bisa dibilang karena gue juga hobi baca. Mulai dari baca komik, cerpen, novel, sampe baca spanduk dan baliho di pinggiran jalan. Mungkin hobi ini juga terpengaruh sama pribadi gue yang sejak kecil ga terlalu sering main-main keluar rumah kecuali sama tetangga yang paling deket atau saudara. Waktu kecil gue orangnya lebih suka ngabisin waktu berjam-jam di kamar baca buku dongeng daripada keluyuran main sepeda atau ngejerin layangan. Karena sering baca, gue jadi berpikir gimana asiknya kalau ntar gue bisa nulis cerita yang bisa gue baca sendiri, syukur-syukur kalo ada orang lain yang mau baca. Bermodal diary, gue mulai rutin nulis. Walaupun dengan tulisan yang berubah-ubah karena waktu itu gue masih labil, tapi gue tetep konsisten nulis sampe gue udah berkali-kali ganti diary. And guess what, sampe sekarang gue masih suka nulis diary walaupun udah jarang banget dan cuma kalo lagi pengen atau ada kejadian penting. Mungkin terkesan kekanak-kanakan, umur udah hampir ninggalin belasan gini masih aja pake nulis diary. Sok imut lah. Alay lah. Tapi somehow gue ngerasa kalo disana adalah ruang paling pribadi dimana gue bisa nyeritain apa aja yang menurut gue agak sedikit awkward kalo diceritain di ruang publik. Alasan lain adalah, nulis diary terkadang bukan cuma sekedar nulis. Rasanya kita bener-bener tahu dan ngerti apa yang kita tulis melalui tulisan tangan. As simple as that.

Lalu semakin umur gue bertambah, semakin gue suka baca beberapa bacaan yang rada serius dan berpengaruh pula sama hobi nulis gue. Gue mulai nulis cerita-cerita fiksi semacem cerpen dan novel. Waktu awal-awal masuk SMP, gue punya project novel sama temen-temen deket waktu itu. Ceritanya ringan dan masih dalam ruang lingkup anak sekolahan. Tapi sayangnya sampe sekarang cuma itu satu-satunya project novel yang belom bisa gue selesain lantaran gue udah jarang ketemu dan  tuker pikiran sama temen-temen deket dulu. Gue coba lanjutin sendirian, tapi tetep aja belom pas. Mungkin karena dari awal niat gue novel itu project bersama, bukan milik pribadi.
Terlepas dari itu, gue sering bikin cerpen dan beberapa berani gue kirim dan dimuat di surat kabar atau diikutin ke lomba-lomba cerpen. Sisanya gue simpen sendiri dan beberapa di posting di blog. Mungkin gue lebih pro nulis cerpen karena biasanya ide itu datengnya tiba-tiba dan mendesak untuk cepet ditulis, kalau gak ya bakal cepet lupa. Lagipula cerpen lebih cepet selesai dan masa produktifnya bisa kapan aja. Masa-masa SMP yang paling labil inilah jaman dimana gue lagi suka banget nulis. Sabodo teuing lah tulisannya gak sesuai EYD atau gak jelas alurnya, yang penting ide harus tersalurkan.

Banyak orang yang pengen hobinya bisa jadi pekerjaan. Bakalan asik banget kalo kita bisa kerja sesuai dengan hobi, pasti perasaan jenuh bakalan lebih mudah diatasin karena kita ngelakuin pekerjaan sesuai dengan apa yang kita mau dan kita suka. Dulu gue pengen banget jadi penulis. Tapi mengutip kata-katanya Kugy di novel Perahu Kertas bagian awal, "Jadi penulis itu gak realistis!". Kalimat ini muncul karena waktu itu Kugy yang pengen jadi penulis dongeng dihalangi cita-citanya karena pendapat orang-orang kebanyakan bahwa jadi penulis itu gak akan bisa bikin hidup kamu serba berkecukupan dibandingkan pekerjaan-pekerjaan mainstream seperti dokter atau pegawai kantoran. Walaupun jaman sekarang udah banyak buktinya orang yang bisa sukses dengan menjadikan menulis sebagai pekerjaan, waktu itu lingkungan memaksa gue untuk ngelupain cita-cita sebagai penulis dengan alasan yang sama seperti diatas. Nyali gue payah, mental gue ciut. Gue ngerasa kurang bisa survive dengan cita-cita yang akarnya pun belom mantap. Tapi sampe sekarang gue masih terus suka nulis, baik cerpen, artikel, puisi, prosa, atau novel walaupun pengerjaannya gak bisa dipaksa tenggat waktu deadline. Walaupun gak jadi pekerjaan, gue tetep suka nyalurin hobi sekaligus belajar dari bacaan-bacaan lain.
 
Tapi pada akhirnya gue bersyukur karena dengan kuliah di jurusan Hubungan Internasional, gue semakin dekat dengan menulis. Jurusan gue ini gak pernah lepas dari yang namanya baca dan nulis. Walaupun beda dengan sastra yang mungkin lebih deket sama hobi tulis menulis gue, setidaknya dengan masuk di jurusan ini gue bisa belajar menulis dengan format yang formal dan akademis. Hobi gue baca dan nulis juga ngebantu banyak untuk terbiasa nulis sekarang ini, jadinya hobi gue itu gak sisa-sia. Jadi dengan menjadi apapun gue di masa depan nanti, gue pengen terus bisa nulis. Disimpan sebagai milik pribadi atau dipublikasikan, gue pengen terus menulis. Sampai kapanpun.

Wednesday, July 17, 2013

Tentang Ayah (Fiksi)

Aku benci ayah.
Bukan, aku bukan anak yang berasal dari orangtua yang bercerai atau anak yang lahir dari ayah yang cacat seperti kebanyakan cerita di sinetron. Aku benci ayah karena ia tidak pernah bisa membahagiakan kami. Sebelumnya hidup kami tidak terlalu melarat sampai perlu berhutang ke warung hanya untuk mendapat beras. Sebelumnya kebutuhan pokok kami setidaknya selalu bisa terpenuhi walaupun ponselku tidak pernah berganti selama bertahun-tahun. Sebelumnya iuran sekolahku selalu bisa dilunasi setiap bulannya tanpa perlu menunggak. Tapi itu sebelumnya. Sebelum ayah mengacaukan semuanya.
Ayah bukanlah pegawai kantoran yang punya upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Walaupun juga bekerja di kantor, posisi ayah tidak lebih dari orang yang selalu membersihkan toilet atau menyediakan kopi dan teh bagi para karyawan setiap harinya. Ayah selalu berangkat pagi buta dan pulang larut malam hanya untuk memastikan bahwa seluruh lantai kantor sudah disapu agar terlihat bersih keesokan harinya. Ayah cuma seorang officeboy.

Aku tidak pernah bangga akan pekerjaan ayah. Kalau saja tidak ada ibu yang mengelola warung bakso kecil-kecilan milik keluarga kami, penghasilan bulanan ayah tentu saja tidak cukup untuk memenuhi setidaknya separuh dari kebutuhan kami. Terkadang hatiku terenyuh melihat bagaimana letihnya raut wajah ibu yang menyiapkan dagangan di tengah malam. Ibu tidak pernah memperbolehkanku ikut membantu. Anak laki-laki tertua yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hanya berkewajiban menuntut ilmu sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan nantinya, begitu kata ibu. Kedua adik perempuanku masih kecil dan yang satu terpaksa terlambat masuk sekolah karena tabungan ibu belum cukup untuk membayar uang pembangunan Sekolah Dasar yang cukup besar.
Lalu dimana peran ayah? Ayah selalu diam saat aku mengeluh pada ibu bahwa seragamku mulai lusuh. Ayah hanya memalingkan wajah waktu adikku merengek minta dibelikan sepatu baru. Ayah cuma bisa termenung saat rembesan air hujan menembus atap rumah kami yang sudah reyot. Ayah tidak pernah berbuat apa-apa. Bahkan ia hanya menatap kosong saat kehilangan pekerjaan satu-satunya.

Aku tahu dengan aku membenci ayah, Tuhan juga tidak akan senang. Malaikat di sebelah kiri pundakku akan mencatat amal buruk setiap kali aku mencibir tentang ayah. Dosaku akan kian menumpuk setiap kali menyalahkan ayah akan kehidupan kami yang kian memburuk saja. Terlebih lagi saat kulihat telapak tangan ayah melayang ke wajah ibu hingga menyisakan bekas merah yang menyakitkan, anggaplah aku anak durhaka, tapi rasanya aku ingin melakukan hal yang sama terhadap ayah. Lalu apa pedulinya jika aku pulang larut malam dalam keadaan mabuk? Toh aku tidak pernah meminta uang padanya. Lalu seiring dengan saling beradunya argumen, makian tidak henti-hentinya keluar dari mulutku. Tentang ayah yang tidak berguna, tentang ayah yang tidak bertanggung jawab, dan tentang ayah yang tidak bisa membahagiakan kami. Kuteriakkan semua isi hatiku yang selama ini hanya membuncah di benak saja. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Hingga pada akhirnya adu mulut ini berakhir dengan tubuhku yang lebam-lebam bekas hantaman sapu ijuk yang melayang dari lengan ayah, aku berdiri dengan sisa-sisa tenaga lalu tanpa menoleh pergi begitu saja melewati pintu rumah. Aku sudah sangat muak dan ingin pergi kemana saja asalkan tidak melihat wajah ayah. Ku langkahkan kakiku jauh dari rumah, tidak mempedulikan suara teriakan ibu yang membujukku kembali. Aku sudah terlalu benci ayah.

Berminggu-minggu aku tidak pulang. Meninggalkan sekolah, meninggalkan ibu dan adik-adik. Aku tidur dijalanan, mengobati rasa lapar dengan mengamen seadanya bermodalkan tepukan tangan. Serikali kudengar kabar dari teman-teman yang tidak sengaja bertemu di lampu merah bahwa ayah setiap hari mencari-cari keberadaanku. Ya, ayah yang ku benci setengah mati justru malah menjadi yang paling peduli. Tapi bukannya kembali pulang, aku malah melangkahkan kaki makin jauh dari rumah. Aku tidak mengerti sudah sejauh mana kedurhakaanku ini. Sudah sebenci inikah aku pada ayah? Entahlah, mungkin mataku yang terlalu buta untuk melihat sisi baik ayah, atau kepalaku yang terlalu batu untuk mengerti bahwa mungkin ayah akan membahagiakan kami dengan caranya sendiri.

"Woi! Lo denger gak sih? Masa cuma segini setoran lo hari ini?!"

Pukulan bertubi-tubi dari beberapa preman menghilangkan kesadaranku. Pikiranku melayang pada sosok ayah. Tidak seharusnya aku membenci ayah. Ayah sudah berusaha sekuat tenaga agar bisa membahagiakan kami. Jika ia kehilangan pekerjaan, tidak seharusnya pula aku mengutuknya tidak berguna. Tidak seharusnya aku melontarkan kata-kata kasar dan tatapan tajam. Walau bagaimanapun, dari ayahlah aku belajar untuk menyayangi ibu. Dari ayah juga aku bisa hidup.

Gelap. Sekujur tubuhku terasa sakit. Hanya tinggal terasa satu lengan yang menopang punggungku.

"Dani! Jawab ayah, Nak! Kamu ngga apa-apa kan?!"

Ayah? Itu suara ayah?
Tuhan, semoga aku tidak terlambat untuk bersujud dan mengucap maaf pada ayah.