Thursday, January 31, 2013

Kisah si Lelaki Berwanita Dua

Ku hempaskan lempengan besi bernama handphone itu ke atas tempat tidur. Entah sudah berapa lama aku menggenggam tanpa bisa melakukan apapun padanya. Tidak mengetikkan apapun, hanya menatap lurus pada rentetan angka dengan dua nama tertera jelas diatasnya. Naik. Turun. Ku geser kursor mengarah pada dua nama itu, entah ingin melakukan apa. Jangankan melakukan panggilan, menuliskan pesan singkatpun rasanya bingung. Jengah. Gelisah. Apa mungkin aku harus menuliskan pesan singkat atau menelepon dengan topik pembicaraan yang sama pada keduanya? Sekedar menanyakan keadaan atau mengungkap rindu. Tapi memang aku merindukan keduanya. Ya, keduanya. Dua wanita yang berputar mengitari aku sebagai pusatnya. Atau malah aku yang mengelilingi orbit yang berbeda secara bersamaan? Entahlah. Entah bagaimana aku menyebutkannya.

Ini bukan tentang cinta segitiga, karena aku pun tak tahu apakah ironi ini pantas ku sebut cinta. Selama hidup yang kutahu hanyalah cinta yang terdiri atas dua anak manusia, entah itu berpasangan atau cinta tanpa kenal batas gender. Yang ku tahu cinta yang 'baik' diceritakan melalui dongeng indah dua anak manusia dan akan berakhir dengan mereka berdua juga. Yang ku tahu kisah cinta yang indah selalu dicetuskan dengan dua orang aktor utama, dan kalaupun ada orang lain yang masuk ke dalam inti permasalahan, selamanya ia akan menjadi orang ketiga yang tidak diinginkan. Orang ketiga yang merusak keadaan dan selalu dicemooh tanpa pernah memiliki kesempatan untuk menjadi aktor utama. Tapi kisahku berbeda. Aku tidak melihat akan ada akhir dengan sepasang manusia, pun tidak juga dengan tiga orang. Setiap kali mengingat kisah konyol ini, otakku berontak. Mana ada sutradara yang dengan tega membiarkan cerita diselesaikan dengan akhir yang menggantung? Singkatnya untuk kasusku, mana bisa Tuhan tega membiarkan kami bertiga terus terjebak pada pusaran deras tanpa satu orang yang harus dikorbankan?

Kedua wanita ini berbeda, sangat bertolak belakang. Seperti dua wajah dewa Janus yang tidak akan pernah bisa disatukan, atau seperti Tom dan Jery? Mereka berdua kutub yang saling berlawanan namun memiliki gaya tarik tersendiri. Ketika berbicara tentang dua orang yang jelas berbeda, apa kita bisa memilih salah satu objek dengan membandingkannya dengan yang lain? Tentu tidak. Kecenderungan membandingkan hanya akan ada jika kedua hal tersebut memiliki karakteristik yang sama. Lalu katakan padaku, bagaimana bisa aku membandingkan dua hal yang berbeda lalu memilih salah satu diantaranya?
Bagiku dua wanita ini seperti dua benda langit yang memiliki arti berbeda bagi tiap orang. Matahari dan Bulan. Memiliki esensi dan orientasi yang berbeda, pesona yang ditampilkan pun tidak sama bentuknya.

Wanita pertama yang sinarnya memancarkan keceriaan bagi siapapun yang termasuk dalam radius cahayanya. Pada awalnya aku hanyalah benda dari galaksi lain yang iri dengan kebahagiaan planet-planet yang disuguhi cahaya lembutnya. Lalu aku bergerak menggeser diri masuk ke dalam lintasan yang terjangkau oleh sorotnya. Dia begitu jelas, membentangkan seluruh kemampuan yang dimilikinya demi menarik perhatian seluruh jagat. Tapi kekuatannya yang gamblang tidak lantas membiarkannya tersentuh dengan mudah. Matahari ini sangat cantik, terik namun tidak menyengat perih. Keceriaannya, kegembiraan yang terpancar dari raut wajahnya, lengkungan senyum lebarnya, begitu indah sampai tidak ada kosa kata lain yang bisa mewakilkan. Ia menebarkan aura bahagia pada siapapun lawan bicaranya, lalu tanpa sadar aku semakin membutuhkannya. Sinarnya telah merasuk menjadi candu. Tak seharipun aku bisa hidup tanpa senyum manisnya. Bersamanya aku merasa lengkap, bahagia. Sudah sering aku memungkiri rasa, namun yang ku dapat hanyalah lelah. Aku tidak ingin lari lagi. Aku mengasihinya sepenuh hati.

Wanita kedua kusebut Bulan yang cahayanya datang menelusup saat aku dirundung kegelapan. Terkadang ia bersembunyi dibalik kawanan awan yang merentang, tapi aku cukup tahu bahwa dia ada. Ia bukan penyendiri, terkadang banyak bintang lain yang menawarkan diri menemani, namun ia membulat tegar dengan sisa-sisa kekuatan. Aku menemukan sosok Artemis, dewi bulan Yunani yang merasuk dalam dirinya. Pembawannya tenang, senyumnya melengkung sempurna penuh kelembutan. Ia menerangiku dengan cara yang berbeda dari si Matahari. Bersamanya aku merasa teduh, damai. Sampai pada akhirnya aku merindukan keteduhan yang menaungiku itu setiap waktu. Aku tidak bisa menyangkal lagi. Aku menyayanginya dengan segenap jiwa.
Aku tidak melupakan si Matahari, wanita yang satu itu jelas tidak tergantikan. Ia tetap ada, namun dalam konteks waktu yang berbeda. Lalu lama kelamaan aku terjebak pada dua benda langit ini, dua wanita ini.

Kembali pada realita tanpa kalimat kiasan, aku merasa bahwa akulah laki-laki paling serakah sedunia. Terkadang egoku berteriak ingin memiliki keduanya, menjadikan masing-masing sinarnya menerangiku dalam dua sisi yang berbeda. Namun tentu saja hidup tidak bisa semudah itu, cinta tidak boleh seegois itu. Harus ada yang berkorban dalam pusaran ini, siapapun itu. Entah aku, Bulan, atau Matahari. Bangku kehidupan ini hanya akan memuat dua orang, tidak bisa dipaksakan menjadi tiga. Jika ingin mementingkan perasaan, aku tidak ingin menyakiti keduanya. Aku juga lelaki normal dengan impian yang sama dengan  lelaki lain, hanya memiliki seorang wanita selamanya. Tapi bisakah aku memilih satu diantara dua sinar ini sedangkan aku baru merasa lengkap jika bersama keduanya?
Jika sedang bersama si Matahari, Bulan akan melirik iri. Jika memilih bersanding dengan si Bulan, Matahari akan berteriak marah. Akupun tidak rela jika harus kehilangan salah satu diantara kedua sinar ini. Brengsek, bukan?

Kembali aku menggerakkan jari di layar handphone menunjuk dua nama yang berbeda ini. Tidak, kami tidak bisa terus membodohi diri seperti ini. Aku tidak bisa terus menjadi lelaki pecundang yang dengan teganya menghancurkan dua makhluk indah yang diciptakan Tuhan ini. Jika tidak berakhir berdua, maka aktor utama tidak boleh ditambah menjadi tiga. Biarkan Matahari kembali menjalankan tugasnya sendirian, lalu Bulan kembali pada dunianya seorang diri. Mungkin aku harus mencari benda langit yang lain. Wanita lain.

Sunday, January 6, 2013

Pulang

Ternyata hanya butuh 'pulang' untuk bisa tidur nyenyak




Dua minggu waktu saya untuk pulang. Bukan, bukan pulang ke rumah sementara saya di pulau seberang selama empat tahun ke depan. Ini pulang yang sebenarnya. Rumah sebenar-benarnya rumah yang saya sebut selama ini. Rasanya cuma tidak sabar, tidak lebih dan tidak kurang. Belum pernah saya se-kangen ini sama kota yang sudah saya injak selama delapan belas tahun, sama rumah dan kamar yang sampai beberapa bulan yang lalu masih saya tempati setiap harinya. Menjelang tanggal pulang yang saya pikirkan cuma kota itu beserta semua isinya.
Semuanya masih sama. Lampu-lampu jalan kuning temaram yang menemani langkah saya keluar bandara menuju rumah, jalanan yang ada kalanya sepi lalu bisa macet begitu saja, dan pos satpam kosong di pinggiran lorong. Tidak ada yang berubah. Mungkin belum. Lalu saya tersenyum sendiri, empat bulan ini belum seberapa. Bukan apa-apa bagi apa yang akan saya hadapi kedepannya nanti. Saya ingin teriak sekencang-kencangnya saat membuka gerendel pagar, memberi tanda bahwa saya sudah berada disini lagi.
Saat pertama kali memasuki rumah, yang saya ingat adalah sosok nenek. Bagaimana saya begitu rindu dengan tubuh rentanya yang selalu duduk di ruang tengah, menunggu saya atau adik pulang sekolah dengan tasbih dan Al-Quran di hadapannya. Saya rindu nyanyian doa-nya, menasehati saya bahwa hidup bukan hanya urusan di dunia atapun sebaliknya. Berkata lembut sambil sesekali tertawa atau hanya sekedar tersenyum simpul. Saat menatap kamar kosong itu, rasa rindu saya sampai ke ubun-ubun. Sambil menangis saya berdoa semoga Allah menempatkan nenek disisinya.

Dulu sebelum saya pindah ke Jakarta untuk kuliah, saya lebih suka berdiam di rumah, menonton film atau sekedar menghabiskan bertumpuk-tumpuk novel yang sudah berulangkali dibaca. Atau menulis. Tapi semenjak pulang kemarin, saya tidak betah di rumah. Saya ingin tahu perubahan apa saja yang bisa terjadi selama rentang waktu empat bulan, waktu yang masih sangat singkat sebenarnya. Tapi biar saja, at least saya bisa merasakan kembali suasana seperti ini, yang tidak saya dapat di tempat manapun.
Jakarta bukanlah kota yang tidak pernah saya kunjungi. Jakarta sering saya jejaki, tapi bukan kota yang sering ditinggali untuk waktu yang sama. Saya  bisa mencari keramaian dimana saja di kota ini, tapi tetap saja rasanya berbeda. Aneh. Asing. Padahal Jakarta tidak berbeda jauh dengan Palembang. Tidur saya disini tidak pernah benar-benar nyenyak. Saya bisa tidur hanya diatas tengah malam, saya bisa bangun lebih telat dari biasanya tapi selelu terbangun beberapa jam sekali. Saya suka sepi, tapi tidak dengan kesunyian. Pada awalnya saya pikir tempat dan suasana baru ini seolah mengusir, tapi lalu saya sadar bahwa saya-lah yang seharusnya menyesuaikan diri disini, bukannya Jakarta yang harus berubah seperti apa yang saya mau. Ini keputusan yang saya buat sendiri, tinggal niat dan tekad yang menemani saya disana.

Tanggal-tanggal sebelum natal dan tahun baru adalah libur universal bagi hampir semua orang, apalagi anak seekolah. Dan diantara sepupu dan keponakan, cuma saya yang baru saja lulus sekolah. Rasanya lucu jika bergabung dengan mereka yang berada satu sampai tiga tahun di bawah saya, sedikit mengingatkan bahwa umur saya sudah hampir melangkah dua tahun dari sweet seventeen. Tapi keluarga tetaplah keluarga. Keluarga tidak mengenal batasan apapun termasuk usia. Jadilah kami menghabiskan sisa tahun 2012 dengan melakukan apa saja karena mereka kebanyakan tinggal di luar kota. Rasanya masih seperti liburan sekolah biasa.
Tahun baru 2013 saya lewatkan dengan keluarga besar. I mean, benar-benar keluarga besar. Kami memasak apa saja yang bisa di masak, bermain petasan dan menonton puluhan kembang api memenuhi langit, lalu berteriak dan meniup terompet sekencang-kencangnyaa ketika waktu menujukkan tepat saat pergantian tahun. Lalu setelah hari itu satu persatu mereka kembali pulang dan melanjutkan apa yang tidak bisa dihentikan. Melanjutkan apa yang sudah ditakdirkan oleh waktu.

Beberapa jam lagi saya juga akan berangkat. Kembali pada rutinitas dan suasana yang masih dibiasakan dan berusaha diterima oleh tubuh dan hati saya. Kembali pada cita-cita yang menjadi pilihan saya. Kembali pada alasan mengapa saya meninggalkan rumah.

Saya menyebutnya pergi, karena bagi saya selamanya disinilah tempat saya pulang.