Thursday, January 28, 2016

Kepada Semua Kenangan

Kenangan seringkali hinggap semaunya. Ia menyelinap diantara lalu lalang manusia yang kita temui di jalanan, pada lagu lama yang kita dengar di radio, atau pada tempat-tempat yang kita lalui seiring jalan pulang. Kenangan membawa kita untuk kembali pada tempat, kejadian, atau orang tertentu. Kita sering bertanya-tanya, kemana perginya semua kenangan saat suatu peristiwa telah berlalu? Jika ia bisa lenyap begitu saja, mengapa ia juga bisa tiba-tiba datang tanpa aba-aba?

Kenangan bisa muncul dengan rasa yang berbeda. Seperti halnya bahagia yang tidak berujung sama, atau kesedihan yang lama kelamaan akan pupus berganti dengan rela. Kenangan punya caranya sendiri untuk mengajak kita kembali mengingat bahwa dahulu, pada suatu masa tertentu, kita pernah berada dalam situasi yang berbeda.

Hari ini, kenangan menyapaku saat tegukan kopi kedua kalinya.

Kopi pertamaku hari ini hitam pekat dan tidak terlalu manis, favoritku seperti biasa. Namun ini kopi hitam pertamaku setelah sekian lamanya terbiasa dengan kopi susu terlalu manis yang disediakan panitia seminar dan konferensi, jenis kopi yang terpaksa kuteguk hanya karena aku butuh pasokan kafein. Bagiku, kopi hitam tidak pernah mengecewakan. Aku rela berlama-lama duduk di kafe tertentu atau di balkon kamar hanya untuk berteman dengannya.

Tegukan kopi kedua ini bertepatan dengan terdengarnya sebait lirik lagu dari playlist yang kuputar secara acak. Lirik lagu yang memaksaku kembali pada peristiwa lalu. Mereka membawaku pada kopi hitam terakhir yang kuminum pada tempat berbeda,  bersama seseorang yang tidak lagi bisa kutemui sekarang. Kenangan memukulku telak. Ia seolah berusaha menyakinkan bahwa kopi hitam yang kuminum saat itu lebih enak, lebih berkesan karena tidak diseruput sendirian.

Aku tercenung sementara. Mengingat detail dari setiap sudut ruangan saat itu, mengingat kembali aroma harumnya kopi hitam, dan senyumnya ketika kami bercerita panjang lebar. Aku menikmati semua kenangan yang datang menyeruak dan menyadari bahwa aku menginginkannya terulang. Tetapi kenangan tidak meberikanku kesempatan apa-apa. Ia hanya sekedar lewat seraya berkata bahwa ini hanya selingan di hariku yang membosankan. Aku tidak bisa kembali pada peristiwa itu sekarang, tidak juga pada tempat dan senyumnya yang meneduhkan. Waktu dan ratusan kilometer jarak membatasiku untuk berbalik menghampiri kenangan yang sudah tertinggal di belakang.


Hari ini, kenangan membawaku pada kerinduan.

Wednesday, October 1, 2014

Friday, June 20, 2014

Friendship? (Cerpen)

            “Kamu sudah makan?”
            “Sudah. Kamu?”
            “Sudah sebelum jemput kamu kesini. Mau kemana kita?”
            “Bukannya kita tidak pernah berencana tiap kali akan pergi bersama?”
            “Tapi aku yang menyetir, Sayang. Lalu akan dikemanakan mobil ini?”
            “Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kamu bukan pacarku”

         Ada senyum simpul yang mengembang di bibir laki-laki itu saat aku mengucapkan kalimat barusan. Aku hanya memalingkan wajah sembari tertawa tanpa suara. Kami selalu seperti ini. Mendeklarasikan diri tidak sebagai sepasang kekasih. Memang, kami bukan sepasang kekasih. Kami hanya dua orang yang saling terjebak dalam zona berteman yang kami ciptakan sendiri. Tapi apa ada dua orang berteman yang menyebut diri mereka sebagai “kami”? Bukan Aku dan Dia? Entahlah. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Kami merasa nyaman berada di pusaran yang sama tanpa satu pun ingin melepaskan diri.
            “Tadi sebelum aku kesini.....”
            Ia mulai bercerita. Aku akan dengan sendirinya memutar kepala ke arah kanan meskipun aku tahu ia takkan melakukan hal yang sama melihat ke kursi penumpang di sebelah karena fokus dengan jalanan di depan. Ia hanya akan sesekali menoleh beberapa detik, tersenyum atau tertawa, lalu akan bertanya mengapa aku memandanginya seperti itu. Konyol bukan? Aku hapal mati urutan kejadian yang biasa terjadi diantara kami.

     “Kamu kenapa sih ngelamun gitu? Galau?”, oloknya sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi.
          “Aku cuma bingung akan kemana kita”
        “Astaga!”, serunya sembari menepuk dahi. Ia lalu tertawa renyah menertawakan kebodohannya yang belum mengaktifkan aplikasi peta di ponsel. Ia dan aku sama-sama tidak mengenal daerah ini. Kota ini. Kota yang meskipun lalu lintasnya salah satu yang terpadat di dunia, tapi masih terlalu asing bagiku yang baru saja menjadikannya tempat menuntut ilmu sementara waktu. Seperti biasanya ia akan menyetir lalu aku akan membaca peta –tidak benar-benar membaca karena sesekali kuperlihatkan rute perjalanan ini padanya, aku tidak pandai membaca peta-, lalu hari kami akan berjalan cepat seperti biasanya. Matahari akan begitu egois ingin berganti tugas dengan bulan, membiarkan kami meratapi mengapa begitu cepat malam datang. Saat berjalan beriringan, kami akan bercerita mengenai apa saja. Lalu kami akan berbagi senyum dan tawa. Entah apa yang dirasakannya, tapi menurutku saat-saat berbagi rindu seperti ini sangat menyenangkan. Aku tidak bisa melihatnya setiap hari, begitupun dia. Kami tidak terpisah jarak yang terlampau jauh, tapi kami tidak bisa menemui satu sama lain setiap harinya. Aneh, bukan? Tapi itu yang membuat setiap pertemuan terasa berkesan. Kenyataan bahwa kami tidak akan bertatap muka langsung setiap harinya membuat kami menghargai setiap detik dari pertemuan.

            Saat duduk berdampingan lagi di jalan pulang, kami akan diam. Mengunci bibir dengan ekpresi wajah datar agar satu sama lain tidak tahu jika sebenarnya kami tidak ingin pertemuan hari ini berakhir. Saat puluhan mobil berjalan merambat di lalu lintas yang padat, tangan kirinya akan menggenggam jemariku. Bukan genggaman yang kuat, namun jenis genggaman yang didalamnya terdapat banyak kata yang tidak tersampaikan.
            “Kamu hati-hati ya. Jangan melamun kalau sedang menyetir. Beritahu aku kalau sudah sampai di rumah”, ucapku lirih ditelan suara penyiar radio. Ucapan selamat tinggal yang begitu ku benci tapi harus ku ucapkan juga.
            “Bisa tidak ya waktu dihentikan?”, ujarnya pelan.
            “If you could do that, would you?”. Aku balik bertanya.

           Saat mobil ini berhenti di tempatku tinggal, kami akan bertatapan sesaat. Lalu aku akan menyesali begitu banyak kata yang tidak bisa ku ucapkan selama beberapa jam bersamanya tadi. Entah mengapa lidahku kelu saat bersamanya hingga begitu sulit hanya untuk sekedar berkata ‘rindu’ atau ‘butuh’. Kemudian bisikan-bisikan kecil kembali menelusup ke sela-sela otakku mengatakan bahwa tidak seharusnya aku merasa begini. Tidak seharusnya aku merasa rindu berlebihan pada seorang teman. Tidak seharusnya aku menatap kosong pada dirinya yang semakin menjauh dan jarak  yang semakin merentang luas diantara kami. Dia itu temanku. Sekat antara kami sangat tipis hingga orang lain terkadang salah sangka dan harus melihat lebih dekat bahwa kami sebenarnya tidak lebih dari dua orang yang sering menghabiskan waktu bersama tanpa ikatan apa-apa.

            “Are you guys in a relationship?”. Begitulah kira-kira yang selalu dipertanyakan orang-orang ketika melihat kebersamaan kami. Terkadang aku pun heran, apa salahnya jika temanku ini tahu benar kebiasaanku dan aku pun hapal makanan kesukaannya. Apa yang salah dari teman yang setiap harinya mengucapkan selamat pagi dan tidak lupa mengingatkan makan? Tapi aku mengerti benar, jika kami punya cukup keberanian, tidak sulit untuk membuat hubungan ini “berbentuk”. Lalu jika diberondong pertanyaan demikian, dia hanya akan tertawa jahil dan aku hanya akan menjawab, “Not that kind of relationship.” Tapi tidak satupun diantara kami berniat mendeklarasikan Ya atau Tidak, karena kami memang berdiri di tengah-tengah sekat pembatas yang jelas, namun tidak kasat mata.