Monday, December 17, 2012

Anakmu Bukan Milikmu



Anakmu Bukan Milikmu
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,



Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau
Kaulah busur, dan anak-anakmulahAnak panah yang meluncur
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap



-Khalil Gibran-

Friday, December 14, 2012

Bosan

Aku bosan mengucap rindu dan tidur dalam balutan pilu.




Ini tulisan pengalih pikiran, pelarian dari rasa bosan. Sepi. Kosong. Alih-alih bingung ingin melakukan apa, saya malah terdampar disini. Menuliskan apa saja, biar saja tidak sesuai ejaan atau pemilihan kata yang benar. Saya cuma...kesepian.
Kata-kata di sudut kanan atas itu mungkin sedikit menyimpang dari tema, tapi saya suka rima-nya. Itu kalimat pertama yang terpikir bahkan sebelum menuliskan judul untuk tulisan ini. Padahal sebenarnya saya cuma bosan. Tugas-tugas minggu ini membuat waktu tidur jadi kacau. Kadang saya tidur disaat semua orang bangun, dan terjaga semalaman saat semua orang lelap. Akibatnya otak saya juga kacau, kata-kata dan perbuatan juga tidak sejalan dengan maunya hati, termasuk saat menulis posting ini dengan kalimat formal. Aneh.

Bicara tentang tugas, mungkin saya yang terlalu manja atau banyak mengeluh, mungkin sepenuhnya salah saya juga yang gak seharusnya ngeluh sana sini, tapi rasanya beban deadline 2 summary selama satu minggu itu rasanya kok nyiksa ya. Entah apa menurut orang lain, tapi bagi saya deadline secepat itu dengan bahan yang baru diberikan beberapa hari yang lalu itu bikin otak saya malah pecah kemana-mana dan mungkin hasilnya sama sekali gak maksimal. Alibi? Bagi saya gak. Resiko saya harus terima apapun yang dikasih, termasuk penambahan tugas tiba-tiba yang seharusnya bukan jatah saya. Saya gak tau peraturannya darimana, tapi selama posisi saya cuma dibawah dan orang itu punya power, selamanya saya cuma bisa berusaha mengerjakan yang diperintahkan. Dan maaf sebelumnya, ini sama sekali no offense.

Akhirnya saya berakhir pada satu kesimpulan. Mungkin saya cuma lelah dan butuh tidur.

Quote

"Saat kau marah, kau lupa perasaanku. Kau keraskan hatimu, aku remuk di dalamnya"
-anonim

Monday, November 19, 2012

Postingan ditengah Hapalan

Lirik kanan, tumpukan textbook. Toleh kiri, notes dan kertas-kertas catatan.
Well, this is how I spend my night.



Minggu-minggu ujian mungkin masa-masa paling menyiksa buat makhluk seperti saya -yang baru aja terima almamater, yang baru tau rasanya kuliah- Baiklah mungkin agak hiperbola. Tidak menyiksa, cuma sedikit mengurangi jatah tidur. Apalagi yang shift ujiannya pagi-pagi buta. Kurang bahagia apa coba.
Jadi sistem ujian disini itu agak beda mungkin ya. Mungkin universitas lain ujiannya dikelang (ngerti ngga kelang? Di jeda gitu loh) satu atau dua hari antara satu mata kuliah sama mata kuliah lain. Tapi disini sistemnya, "berlibur-libur dahulu barulah mabok kemudian". Gimana ngga? Dikasih hari tenang 5 hari, setelah itu tiga hari berturut-turut ujian dengan mata kuliah yang...cius cumpah susah. Abis itu libur lagi lima hari dan ujian lagi dst dsb.

Masalahnya adalah, sudah sifat wajib manusia menunda-nunda pekerjaan. Libur lima hari itu tujuan normatifnya ya dipake belajar buat ujian yang tiga hari berturut-turut tadi. Tapi apa mau dikata, apa daya upaya, malas tidak terelakkan. Hari pertama libur mikirnya ya, alah baru juga hari pertama, santai ajalah. Hari kedua, udah besok-besok juga bisa, masih ada tiga hari ini. Hari ketiga, besok deh ya. Nah baru pas menjelang hari keempat selesai dan menuju hari terakhir liburlah, akal sehat baru jalan. Where have you been huh? HAHA.

Apalagi godaan ada banyak. Pertama, bales dendam waktu tidur. Beberapa minggu ini jadi sering tidur pagi gara-gara project ICOBIRD-nya HI. Bikin video stop motion sampe pagi sementara besok pagi-panginya mesti jadi liason officer Prof. Elliot. Tidur jam setengah lima pagi itu masih mendingan, banyak temen-temen yang bahkan ngga tidur sama sekali. Makanya libur yang beginian jadi ajang bales dendam. Si Kathlin aja tuh kemaren yang kebagian jatah ngga tidur sama sekali selama dua hari berturut-turut, jadinya pas ada kesempatan bales dendam dia tidur udah kayak orang mati.
Kedua, si-serigala-ganteng-berbadan-kekar-ku itu sudah memenuhi bioskop-bioskop seantero Indonesia. Breaking Dawn Part 2 memang godaan paling dahsyat apalagi Jacob Black-nya. Can't imagine before that the ending would be like this. Perspektif awalnya sih full of romantic stuffs, ternyata sutradaranya cukup pinter bikin ending yang kalo kata Syahrini sih cetar membahana badai. Anyway it's the best recommended movie of the year I think.

Besok itu hari kedua ujian berturut-turut setelah lima hari libur. Indonesia dalam Persfektif. Politik. Ekonomi. Besok lusanya lagi Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Realisme. Liberalisme. Marxisme. Belum lagi tugas summary Sejarah Dunia Modern yang sampe sekarang intinya pun masih jadi bahan pikiran. Bunuh aja bunuh..




Tadinya sih mau upload foto tumpukan buku, tapi males mindahin dari hape.
Yang ini kayaknya lebih 'touchy' *alibi*





Well yah, mari kita kembali pada pelukan buku-buku dan catatan-catatan cantik ini. Semoga setidaknya masih ada kesempatan tidur malam ini.
Selamat malam, semoga yang sakit bisa cepat sembuh. Selamat tidur.

Wednesday, November 14, 2012

Aku Ingin Melukis Langit

Aku ingin melukis langit
Biarlah tidak dengan kuas, biarlah bukan dengan tinta atau cat berwarna.
Aku ingin menembus batas yang terbentang
Ingin menyempitkan jarak, ingin menarik sosokmu
Ingin menyampaikan kata dan nada melalui gelapnya kanvas langit

Mungkin tidak semegah milik Da Vinci
dan tidak secantik Monalisa pula
Toh aku hanya ingin lukisan ini tersampaikan,
Pada sosok kelam yang tabirnya begitu sulit ku sibak
Pada bayangan semu dibawah terangnya rembulan

Aku ingin melukis langit
Dan berharap kau menengadahkan kepala, lalu menyadarinya

I Love(d) You Part II -end-

"Aku cuma mau minta maaf. Mungkin waktu kita putus aku ga sempat ngomong panjang lebar. Aku emosi banget waktu itu", ucap Iqbal tanpa sedikitpun ingin melepas lengan Fira dari genggamannya. Ia ingin bicara baik-baik. Ia rindu bicara baik-baik dengan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.

"Gue tau, tapi.."

"Bisa nggak sih kamu nggak usah pake lo-gue sama aku?", sela Iqbal dengan nada suara yang sedikit meninggi. Ia benci seolah-olah Fira menganggapnya bukan siapa-siapa. Yah, memang ia bukan kekasihnya lagi tapi otak dan hatinya belum bisa menerima perubahan sedrastis itu. Tidak, dia tidak siap menerimanya.

Fira tersentak. Baru kali ini Iqbal berbicara dengan nada setinggi itu, nyaris membentak. Ia sangat tidak suka dibentak, oleh siapapun. Sontak saja ia mengibaskan tangan yang masih digenggam Iqbal.

"Emangnya kenapa? Lo gak suka? Gue juga ga suka lo bentak-bentak gue!", bentak Fira tak kalah kerasnya. Sungguh ia tidak terbiasa seperti ini. Ia tidak pernah membentak orang lain jika tidak benar-benar marah. Tapi ucapan Iqbal, nada bicaranya, tatapan matanya, dan cengkraman tangannya yang berubah menyakitkan menggerakkan bibirnya untuk membalas dengan sentakan pula. Kemudian tanpa disadarinya ia sudah berjalan cepat, meninggalkan Iqbal yang masih terpaku atas perlakuan yang baru saja diterimanya. Ia tidak bermaksud begitu. Sungguh, Iqbal tidak bermaksud membentak. Ia hanya...hanya...Ah! Ia benci merasa frustasi seperti ini. 

Hari berganti bulan, lalu berganti tahun. Malam ini adalah pesta perpisahan sekolah mereka. Sejak pertengkaran singkat dibawah pohon rindang itu, Iqbal sama sekali tidak punya nyali menyapa Fira. Ia takut. Ia takut akan mengeluarkan kata-kata yang hanya akan menyakiti hari perempuan itu lagi. Ia takut ia akan merubah Fira menjadi sosok yang jauh lebih dingin. Karena itu ia hanya bisa memandangi Fira dari jauh, menjaga dan mengawasinya dari sudut yang tak terlihat, karena hanya dengan cara itu ia masih bisa melihat Fira tersenyum walau bukan untuknya. Karena jika berhadapan dengannya, Fira seketika akan berubah menjadi sosok yang ia tidak kenal, melemparkan sorot mata tajam dan sinis.

"Fira? Ini lo kan?", Fira merasa satu tangan menarik lengannya. Saat itu ia sedang celingukan bingung ingin melakukan apa. Semua orang berdansa dan tertawa, atau sekedar menyesap minuman dan menikmati makanan kecil sambil bercengkrama dengan teman atau pasangan. Sementara ia hanya bisa berdiri di sudut ruangan yang melihat pemandangan sekitar.

Fira mengamati sosok itu dari balik topeng putihnya. Sosok yang juga kabur karena tertutup topeng hijau, lalu ia tersenyum, "Iya ini gue, di. Kok lo bisa ngenalin gue?", ujarnya agak sedikit heran. Sejak tadi tidak ada seorangpun yang mengenalinya dengan topeng ini, tidak juga teman-temannya yang sedari tadi berseliweran di hadapannya.

"Mau tau aja. Pesta topeng kayak beginian nggak ngaruh sama gue. Buktinya gue masih bisa nemuin lo", jawabnya sambil tertawa kecil lalu mengajak Fira ke tengah ruangan untuk berdansa.

"Lo tau gue sama sekali nggak berbakat sama yang beginian..", ujar Fira sedikit canggung mengatur posisi tangan dan kakinya. Mencoba berdansa dengan Aldi mungkin lebih baik daripada berdiri seperti orang bodoh di sudut ruangan.

"Lo tau nggak, mantan lo itu dapet beasiswa ke aussie", sela Aldi ditengah nada klasik yang mengalun. Fira menerawang, ia jelas tahu hal itu. Tanpa harus diberi tahu secara langsung, tanpa perlu bertanya pada yang bersangkutan, ia sudah cukup tahu dan menurutnya Iqbal pantas menerima beasiswa itu. Itu cita-citanya sejak dulu. Mimpinya.
Tanpa sadar pikirannya juga menerawang jauh, menariknya kembali pada saat mereka berbagi mimpi. Iqbal yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan Fira yang ingin menjadi guru di daerah perbatasan. Dua hal yang sangat bertolak belakang memang, tapi mereka membaginya dengan tawa. Setidaknya saat itu mereka bersama-sama membahas impian dengan gelak tawa. Ya, saat itu.
Bingung harus menjawab apa dengan lidah kelu, Fira lebih memilih mengangkat ujung bibirnya.

Hari sudah lewat tengah malam. Gaun tanpa lengan yang dipakainya membuat Fira menyilangkan tangan di dada, kedinginan. Kakaknya belum juga datang menjemput. Agak menyesal juga dia menolak tawaran Aldi untuk mengantarnya tadi. Dia merasa tidak enak kalau harus terus-menerus menerima bantuan dari Aldi. Ia tahu sahabatnya itu menyukainya, sangat tahu, tapi ia tidak rela jika harus menukar persahabatannya itu dengan cerita baru yang belum tentu bertahan sampai akhir.

"Kamu belom pulang?", suara kecil Iqbal mengagetkannya. Ia menggeleng, lalu kembali diam. Menatap laki-laki itupun ia tidak berani, padahal malam ini Iqbal sangat berbeda dari biasanya. Jasnya mungkin sama seperti teman-teman Fira, tapi auranya berbeda. Entahlah, mungkin karena Iqbal terlihat lebih dewasa.

Sadar tidak mungkin mendapat respon, Iqbal melanjutkan perkataannya dengan pandangan lurus ke langit, "Mungkin ini terakhir kali aku bisa bicara sama kamu, jadi aku mau bicara baik-baik. Aku minta maaf untuk semua kesalahan aku selama ini yang secara sengaja atau nggak udah nyakitin kamu. Aku berterima kasih untuk apapun yang sudah kita jalani selama ini, untuk apapun yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia dengan apapun yang kamu jalani selanjutnya. Aku selalu berharap yang terbaik dalam hidup kamu".
Setelah itu tanpa menoleh, ia melangkah pergi.


....


"Kamu sudah makan? Gimana keadaan disana?", terdengar nada cemas dari seberang telepon. Iqbal tersenyum geli. Mamanya selalu saja seperti ini semenjak ia pindah ke Australia untuk melanjutkan studi. Tidak peduli waktu setempat sudah menunjukkan beberapa menit sebelum tengah malam seperti ini, ibunya itu tetap saja menasehatinya seperti anak kecil. Bahwa ia harus makan tepat waktu, harus tidur cukup, dan tidak boleh membuang waktu dan uang, dan bahwa ia harus cepat kembali.

"Ma...aku baru setengah tahun disini, belum juga hapal jalan udah disuruh pulang", cecarnya sambil tertawa kecil. Ia mulai menyukai kehidupannya disini. Sendiri tanpa kerabat membuatnya lebih mandiri.

Iqbal baru bisa tidur setelah membujuk ibunya untuk segera tidur. Sepertinya ibunya itu begitu rindu, hingga terkadang terdengar isak tangis disela ocehannya, membuat ia merasa ingin kembali pulang lalu memeluk ayah dan ibunya. Namun perjuangannya disini untuk membanggakan mereka belum apa-apa, belum seberapa. Cepat-cepat disingkirkannya pikiran itu.
Mata yang hampir terpejam. Ponsel bergetar. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal.


Aku sekarang jadi guru di perbatasan Kalimantan Selatan.
Aku tunggu kamu pulang liburan.
Aku tunggu kamu disini.
Selamat malam, selamat ulang tahun.

-Fira-

Saturday, November 3, 2012

Acquisence

Siang yang sepi. Aku suka kesunyian. Tapi berbagai suara di pikiranku merusak semuanya. Ia berseliweran tanpa henti menggaungkan kata-kata yang sama. Sebegitu menusuknya sampai yang bisa kurasakan hanya sakit dan otakku tidak bisa berpikir. Sebegitu tidak bisa berpikirnya sampai kubiarkan saja tetes demi tetes bening itu keluar begitu saja dari kelopak mata sampai membasahi kaus.

Aku lelah mencoba merelakan. Kenapa kita harus merelakan? Apa sesuatu itu sebegitu tidak pantas digenggam hingga harus dilepaskan? Tapi aku ingin merelakan. Karena mungkin jika berhasil, aku bisa menyebut namamu dengan lancar lalu bisa memandang fotomu dengan senyum. Aku bisa terbangun dengan memikirkan hal lain, bukan dirimu. Aku bisa memimpikan yang lain, bukan sosokmu. Kau kira aku tidak pernah mencoba merelakan? Aku sudah bosan melakukannya. Tapi semakin aku mencoba membuang sosokmu jauh-jauh, bayangan itu malah mengejar. Seolah menarik supaya aku terjatuh dan tidak bisa berdiri. Padahal aku sudah lelah mencoba bangkit. Padahal aku sudah lelah menangis. 

Aku ingin bisa merelakan. Seperti kau yang dengan mudahnya berkata bahwa kita tidak bisa bersama, bahwa tidak akan ada lagi 'kita'. Sementara kau sudah pergi, melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan.

Tuesday, October 16, 2012

Kita Bertemu dalam Tengadahan Tangan yang Sama

Lalu aku bercerita pada Tuhan melalui tengadahan tangan. Disela sujud
dimana kepala bertemu pada bumi. Memohon untuk dia senantiasa menjagamu ..



Jarak kita tidak terlampau jauh. Hanya saja aku dan kau sama-sama tidak tahu dimana diri kita masing-masing sedang berpijak. Aku dan kau sama-sama tidak mengerti bagaimana cara menemui satu sama lain, lalu kita bertanya dalam hening, merindu dalam diam, dan pada akhirnya berharap dalam doa. Aku dan mungkin kau juga percaya bahwa batas terakhir yang tak bisa dilampaui adalah Tuhan. Zat yang menciptakanmu dengan tulang rusuk yang...mungkin bukan aku. Mungkin. Kita tidak pernah tau pasti.

Namun karena Dia-lah yang menciptakan kita, yang memutuskan untuk menurunkanmu ke dunia dan mengeluarkanku pada rahim ibu, aku sangat ingin bercerita pada-Nya. Bukan hanya berterima kasih atas nafas yang masih berhembus hari ini namun juga untuk lindungan-Nya padamu. Walaupun hari ini hanya bisa mendengar sedikit suara serakmu ketika terbangun dari tidur dan tidak tau pasti bagaimana keadaanmu, aku merasa bersyukur pada Tuhan bahwa hari ini, di dunia ini, kau masih ada. Lalu aku beralih pada rasa syukur untuk sepotong nyawa yang diberikan-Nya padaku. Untuk rasa yang masih mengalir hangat pada celah-celah hati.

Jarum pada jam kecil di mejaku sudah bertengger ke angka dua belas. Kau mungkin sudah berkelana di dunia antah berantah yang kita sebut mimpi. Lalu pandanganku beralih pada sosok yang kubingkai dalam pigura biru. Disana kau tersenyum lebar dengan tatapan menenangkan, seolah ingin menyampaikan bahwa kau baik-baik saja. Sedikit tersenyum, aku kembali menengadahkan tangan. Biarlah tanpa air suci, biarlah tanpa kain penutup kepala, aku hanya ingin menyelipkan satu doa lalu minta dikirimkan Tuhan padamu.

Semoga bunga tidurmu indah dan aku ada disana dengan sosok yang bisa mengangkat kedua ujung bibirmu keesokan paginya...

Wednesday, September 19, 2012

I Love(ed) You (Part 1)

Semangkuk mie instant ini rasanya sulit sekali dihabiskan. Entah mengapa rasa laparku seketika hilang saat melihatnya tersenyum pada orang lain. Senyum yang dulu hanya milikku, dan aku berhak marah jika ia membaginya dengan yang lain. Ya, Dia. Sudah sekitar tiga bulan setelah kami memutuskan untuk tidak lagi bersama. Alasannya karena...karena...Ah! Aku tidak ingin mengingatnya. Lagipula aku sudah lupa. Tepatnya harus dilupakan. Setidaknya itu yang dikatakan sahabatku ketika aku bertanya harus bagaimana dengan kenangan kami yang terus berseliweran di benakku tiap kali melihat sosoknya melintas.

Sejak kejadian itu, ia tidak pernah lagi tersenyum. Tepatnya tidak pernah lagi tersenyum seperti itu untukku. Jangankan mengobrol seperti biasa, bertegur sapapun kami enggan. Entah mengapa rasanya sulit untuk sekedar menyapanya. Mungkin karena kenangan selama hampir dua tahun bersama yang menjadikanku canggung untuk bicara padanya mengingat status kami sudah tidak lagi sama seperti beberapa waktu yang lalu.

Tepukan kecil dipundak membuyarkan lamunanku. “Woy, Bal! Yee ngelamun aja. Ngeliatin apa lo?”, ujar Badai yang langsung duduk disebelahku dan dengan lahapnya menyendok mie yang baru dipesannya.

“Lo ngagetin gue aja”

Seraya melihat ke arah pandanganku, Badai tersenyum. “Iqbal...Iqbal. Kalo lo masih sayang sama Fira, kenapa ga balikan aja?”, ujarnya sembari menyeruput es teh manis.

“Gak ah, gue gak mau”, jawabku pendek lalu menjejalkan mie kedalam mulut.

“Yaudah makanya lo lupain dia kalo gak mau balikan. Susah amat”

Itu masalahnya. Aku merasa ada banyak hal yang masih mengganjal dan perlu dibicarakan dengannya. Melupakan? Rasanya bukan ide yang bagus.

“Lo kenapa sih Fir? Gue tau lo sok-sok senyum aja daritadi. Pikiran lo kemana?”, ujar Aldi sambil mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan wajah Fira. Sahabat barunya ini sekarang jadi sering melamun dan menjadi sedikit pendiam. Tatapannya juga seringkali dingin dan kosong. Jika sudah seperti itu, harus ada yang menyadarkannya untuk sedikit tersenyum walaupun terlihat canggung.

“Gue baik-baik aja kok. Emangnya gue kenapa?”, jawab Fira sambil tersenyum kecut dan memainkan sedotannya. Jus mangganya baru seperempatnya diminum.

Aldi memilih diam daripada terus membahasnya. Ia tahu sedari tadi Fira sesekali mencuri perhatian pada Iqbal yang duduk di bangku paling sudut di kantin. Sejak putus dari Iqbal, Fira akan marah dan sensitif jika orang disekitarnya membicarakan tentang Iqbal. Ia akan melengos pergi atau berpura-pura tidak mendengar.

Saat hendak kembali ke kelasnya, Fira berhenti sejenak di koridor panjang lantai tiga yang sepi. Ia hanya berdiri menatap lapangan sepak bola tempat ia dulu sering berteriak dibawah panas matahari untuk mendukung Iqbal yang sedang bertanding. Tidak peduli tubuhnya sudah bau matahari dan rambutnya sudah berminyak atau tatapan aneh teman-teman yang lain karena ia berteriak seperti orang bodoh, ia hanya ingin menjadi satu-satunya orang yang dilihat Iqbal saat memasukkan bola ke gawang. Rasanya seperti baru kemarin.

“Sejak kapan kamu temenan sama Aldi?”

Fira tersentak dari lamunannya dan lebih terkejut lagi saat berbalik dan mendapati Iqbal sedang menatap lurus ke matanya. Itu kalimat pertama yang diucapkan Iqbal secara langsung padanya sejak mereka putus.

“Kenapa?”, jawabnya pendek sembari mengalihkan pandangan.

“Seinget aku kamu gak pernah segitu deketnya sama dia. Jangan bilang kalo...”

“Lo cemburu?”, tanya Fira memotong ucapan Iqbal yang belum selesai.

Iqbal mengalihkan pandangan, “Nggak. Buat apa?”

Fira tersenyum sinis dan menatap tajam mata lawan bicaranya, “Kalo lo gak punya alasan yang jelas mendingan gak usah komentar”. Itu kata-kata paling sinis yang pernah diucapkan Fira padanya.

“Sejak kapan kamu...”

“Kalo gak ada hal penting yang mau dibicarain lagi gue masuk kelas dulu”, ucap Fira sekali lagi tanpa mempedulikan kalimat Iqbal yang belum selesai. Ia berjalan perlahan tanpa menoleh, lalu hilang di balik lorong. Meninggalkan Iqbal yang hanya bisa menatap punggungnya. Hanya seperti itu? Hanya seperti itu saja percakapan pertamanya dengan Fira setelah tiga bulan? Bahkan tidak sedikitpun Fira menanyakan kabarnya? Yah, walaupun dia yang terlebih dahulu menanyakan tentang Aldi tapi apa salahnya dijawab baik-baik? Pikiran-pikiran itu berkelebat di benaknya.

Matahari siang tidak  bisa lebih terik lagi. Fira berjalan terseok-seok menyusuri trotoar menuju rumahnya yang hnya berjarak satu kilometer dari sekolah. Biasanya kalau tidak diantar Iqbal, dia lebih suka berjalan kaki seperti ini. Lho? Kenapa dia jadi mikirin Iqbal lagi? Ah sudahlah, toh laki-laki itu juga belum tentu juga memikirkannya.

Tepukan halus di pundak menyadarkan lamunannya, “Hei”. Fira mendongak dan menemukan wajah yang baru saja beberapa detik yang lalu berusaha dienyahkannya dari pikiran. Well yah, lain kali mungkin ia tidak perlu mengingat orang ini jika tidak siap didatangi betulan. Tapi memangnya kenapa dia tidak siap? Entahlah, hanya senyum samar yang bisa diberikannya saat ini. Respon datar membuat Iqbal hanya menjajari langkah Fira dalam diam.

“Lo ngapain ngikutin gue?”, tanya Fira tanpa sedikitpun berniat menoleh atau memperlambat langkah. Cuaca makin panas, pipinya juga memanas.

“Aku ga boleh anterin kamu pulang?”

“Ada yang mau lo omongin sama gue?”, tanya Fira tembak langsung. Sudah tiga bulan ia tidak pernah melakukan kebiasan rutin ini dan sampai sekarang belum terbiasa. Ia tidak yakin tiba-tiba Iqbal begitu saja ingin mengantarnya pulang jalan kaki seperti jika tidak ada yang ingin dibicarakan. Apalagi sebenarnya arah tujuan mereka berbeda.

“Aku ga mau berantem, Fir”. Iqbal menahan lengan Fira untuk berhenti sejenak tepat di bawah pohon rindang yang sedang mereka lalui. Ia ingin bicara, tapi tidak tau tentang apa. Mungkin ia hanya ingin berada di sisi Fira seperti biasa, tapi sepertinya cewek itu sedang tidak dalam mood yang bagus hari ini. Atau memang itu cara Fira memperlakukannya sekarang?

“Gue juga nggak”, jawab Fira sekenanya. Ia ingin melanjutkan langkah tapi jemari Iqbal masih menahan lembut lengannya dan rasanya tidak sopan jika ia berusaha melepaskan. Atau ia tidak ingin dilepaskan? Tunggu! Gagasan seperti apa itu? Tidak tidak tidak. Pikirannya seketika menolak gagasan itu.


to be continued...

Tuesday, March 13, 2012

Quotes

"Seperti udara yang kau hirup setiap detiknya. Seperti angin yg berhembus dibelakang telingamu yang mungkin terlalu abstrak wujudnya untuk kau lihat. Seperti itulah aku padamu."

Wednesday, February 22, 2012

Perpisahan itu... (repost)

"Aku masih merasakan udara yang sama. Masih berdiam di tempat yang sama. tapi yang kurasakan tak lagi sama, kesunyian ini bernama tanpamu."

Sebenarnya aku tidak pernah ingin semuanya berakhir. Saat semua terancang dengan hebat dan sempurna, saat perhatian-perhatian kecil itu menjelma menjadi candu rindu yang menancapkan getar-getar bahagia. Tapi bukankah prediksi manusia selalu terbatas? Aku tidak bisa terus menahan dan mengubah sesuatu yang mungkin memang harus terjadi. Perpisahan itu harus terjadi untuk pertemuan awal yang pasti akan memunculkan perasaan bahagia itu lagi.

Tidak dipungkiri dan aku tak harus menyangkal diri, bahwa selama rentang waktu tanpamu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ketika pagi, kamu menyapaku dengan lembutnya. Saat siang, kamu sekedar mengingatkanku untuk tidak terlambat makan. Saat sore, kamu menyapaku lagi, lalu bercerita tentang harimu, lelahmu dan bahagiamu pada hari itu. Saat malam, kamu menjerat pikiranku untuk terfokus pada suaramu yang mengalun lembut melewati lempengan-lempengan dingin ponselku. Dan aku rindu, rindu semua hal yang bisa kita lalui hingga terasa waktu terlalu cepat berlalu saat kita melaluinya bersama.

Dan akhirnya perpisahan itu tiba. Sesuatu yang selalu kita benci kedatangannya tapi harus selalu kita lewati tanpa tau kapan terjadi. Dengan segala ketidaksiapan yang menggerogotiku, aku tetap harus melepaskanmu. Kau temukan jalanmu, aku temukan jalanku. Kita bahagia dalam jalan kita masing-masing. Kamu berpegang pada prinsipmu, aku berpegang pada perasaanku. Namun kita masih berpegang pada satu janji yang sama. Kita memang berbeda dan tak harus selalu berjalan beriringan.

Semua berjalan dengan cepat. Sapa manjamu, tawa renyahmu, cerita lugumu, dan segala hal yang membuat otakku penuh karenamu. Dan aku harus membuang dan menghapus itu semua dari memori otakku agar kamu tak lagi mengendap-endap masuk ke dalam hatiku. Lalu membuat kenangan itu menjadi nyata dan kembali menjadi realita. Mari mengikhlaskan, setelah ini akan ada pertemuan yang lebih menggetarkan hatimu dan hatiku. Selamat menemukan jalanmu.

Percayalah, bahwa perpisahan ini untuk kebaikan hidupmu dan hidupku, bahwa setelah perpisahan ini akan ada perasaan bahagia bertubi-tubi yang mengecupmu dengan seringnya. Percayalah bahwa pertemuan kita tidak pernah sia-sia. Aku banyak belajar darimu, dan aku berharap kau juga mengambil pelajaran dari pertemuan singkat dan kebersamaan ini. Semua butuh proses dan waktu saat kamu harus kehilangan sesuatu yang sudah terbiasa kau rasakan. Baik-baik ya :')


By: dwitasarii.blogspot.com

Tuesday, February 21, 2012

Time to Say Goodbye


I don't know how to start it. Otakku begitu buntu sejak waktu kurasa berhenti melihat percakapan kita beberapa saat yang lalu. Hiperbola, mungkin. But now and then, apologies for the undeniable errors. Atas seluruh rasa sakit pada hati masing-masing. Atas kepercayaan yang makin memudar dan terkikis perlahan. You know its beyond what I could imagine. You know I don't mean to. Thinking about things we do, thinking about how it never be the same again.

Otakku lelah sendiri mengingatnya. Then I decided to forget it. I have to get over it. Its over, and we've decided to let it go. Kado itu masih kusimpan rapi dengan pembungkusnya, belum sempat ku berikan. And overall, I'd say thank you. I thank you for everything. For once become a reason why I faced problems with smile, for letting me know that there is always something we should let go even how much we tried to keep hold into it.

Thank you, so much.

Thursday, February 16, 2012

Sajak Perempuan Kecil

Perempuan kecil ini berlari menyusuri ladang ilalang
Melangkahkan kaki-kaki kecilnya yang kotor tanpa alas
Walau banyak bekas ranting tajam, apa pedulinya?
Toh rasa sakit sebesar apapun pernah dirasakannya...

Perempuan kecil ini menengadah dibawah terik surya
Tanpa tujuan. Hanya ingin sedikit membebaskan raga dari jiwa yang makin lelah
Menari tanpa peduli panas membakar kulitnya
Untuk apa? Toh perasaan sepanas apapun pernah dialaminya...

Lalu perempuan kecil ini jatuh. Terdiam.
Dan mulai menangis sesunggukan
Ia sadar ia bukannya tidak butuh siapa-siapa
Ia hanya perlu satu bahu hangat yang menopang beban beratnya

Quotes



"Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa dia tidak tau kenapa aku bisa mencintai orang seperti dirinya. Terus terang saja, aku juga tidak tahu. Kurasa aku termasuk salah satu orang yang merasa bahwa kau tidak membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang. Karena cinta terjadi begitu saja. Kau tidak bisa memaksakan diri mencintai seseorang, sama seperti kau tidak bisa memaksakan diri membenci orang yang kau cintai"




Alex Hirano - Sunshine Becomes You (Ilana Tan)

Sunday, February 12, 2012

Bahagia itu... (article)

Dulu aku pernah penuh tanya tentang apa yang kita sebut sebagai 'bahagia'. Begitu memenuhi otakku karena tanpa ditanya pun semua orang ingin memilikinya. Puncak dari segala rasa dan mungkin tujuan hidup. Aku coba bertanya pada sinar matahari yang menembus tirai tipis kamarku disetiap paginya, tapi tentu saja ia tidak menjawab. Aku coba bertanya pada malam sepi tapi yang kudapat hanya hening. Lalu aku harus bertanya pada siapa? Lucu sekali bagaimana sebuah kata membuat rasa penasaranku membludak tak tertahan.

Baiklah aku mengalah. Jika tidak ada yang bisa menjawab maka mungkin lebih bijaksana jika aku mengganti pertanyaanku hingga yang lebih mudah. Sebenarnya apa bentuk sebuah 'kebahagiaan'? Tercetak tebal di otakku. Berkeliaran ia disana mencari jawaban. Dan aku mulai bertanya pada siapa saja yang bisa mendengar atau malah bisa menjawab. Tapi yang kudapat malah gamang karena begitu banyak jawaban dengan bentuk yang berbeda.

"Bahagia itu saat kita mendapat apa yang kita inginkan"

"Bahagia itu saat aku bisa mencapai cita-cita"

"Bahagia itu menikmati hidup!"

"Bahagia itu relatif. Kebanyakan karena materi atau hal-hal yang berbentuk nyata"

Kalimat yang terakhir itu kudengar dari salah seorang teman di bimbingan belajar. Iseng saja aku bertanya tapi itulah jawaban yang paling aku ingat dari seluruhnya. Apakah benar 'bahagia' itu berbentuk materi, benda, atau sebagainya? Rasanya tidak mungkin semudah itu. Sedangkal itu. Kemudian aku bertanya padanya. Pada dia.

"Lalu jika kebahagiaan itu bukanlah hal yang berbentuk materi, benda nyata yang berbentuk atau yang lainnya, lantas kebahagiaan itu seperti apa?"

"Kebahagiaan itu seperti lengkung indah senyummu.."

Quotes

"Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kau percayai,
percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku".



--Sunshine Becomes You (Ilana Tan)--

Tuesday, February 7, 2012

Kepada siapa saja diluar sana

Kepada siapa saja di luar sana,
yang dengan kejinya menganggap orang lain tidak berharga


Kepada siapa saja di luar sana
Artikel kecil ini hanya selingan diantara secangkir kopi yang mulai dingin karena belum sempat diminum. Hitam. Setidaknya aku sudah tidak bisa melihat jejak gula di pinggirannya. Begitu juga dengan kita nantinya. Blur.

Kepada siapa saja di luar sana yang dengan angkuhnya menegakkan kepala diantara yang tertunduk. Menginjak yang lain dengan langkahnya yang besar. Kau sesungguhnya juga mengerti bahwa belum jelaslah juga masa depanmu nanti. Siapa yang bisa menjamin kau akan sebesar yang kelihatannya sekarang? Lalu apa gunanya kau berlagak seolah tau segalanya? Seolah dunia berputar mengelilingimu dan hanya akan berhenti jika kau yang meminta? Kau kira siapa kau ini?

Kita semua hanya makhluk kecil dimata Tuhan yang hanya dengan jentikan jari bisa membinasakan seluruh alam. Apa dasarnya kau memberikan teori bahwa yang bersinarlah yang menang? Bahwa yang kusam dan belum terasah ini adalah calon-calon pecundang? Omong kosong! Bukankah Tuhan berkata bahwa seluruh manusia derajatnya sama? Lalu kau berusaha berdiri di tangga yang satu tingkat diatas kami dengan cara menginjak punggung kami?. Tidak.

Selamat malam kau yang di luar sana. Kau tau aroganmu luar biasa.

Monday, February 6, 2012

Lihat Aku, Mama.. (cerpen)

Aku tak peduli seberapa lama Tuhan memberikan sisa waktu
Bagiku ada mama disini sudah cukup..



Teriknya matahari siang mengerutkan keningku. Panas sekali disini! Belum lagi aku harus berjalan kaki pulang ke rumah. Memang tidak terlalu jauh tapi tetap saja lima belas menit. Ku tendang terus menerus kaleng bekas minuman ringan itu. Mood-ku sedang jelek. Sepertinya memang selalu. Aku benci mengapa mama tidak mengizinkanku membawa kendaraan ke sekolah, padahal motor dirumah tidak pernah dipakai. Anak laki-laki dijemput sepulang sekolah? Kedengarannya terlalu...manja.

Aku tau jelas alasan mama melakukan ini. Mama melarang keras untuk aku melakukan apapun yang berbahaya baginya. Yang bisa membuatku terluka. Bahkan aku tidak pernah mengikuti praktek olahraga di sekolah. Mama melarangku dan mengatakan bahwa itu terlalu beresiko. Sayangnya ini tidak bisa dijelaskan dengan mudah pada teman-teman di sekolah dan aku tetap saja seorang anak laki-laki manja yang bahkan fisiknya tidak kuat untuk sekedar bermain basket atau sepak bola. Padahal bukan seperti itu. Hah..sudahlah.

Akhirnya sampai juga!, teriakku dalam hati. Mama sedang membaca tabloid gosip saat aku memasuki ruang tengah. Sengaja tidak ku tegur, karena memang biasanya mama tidak akrab padaku ataupun papa. "Kenapa kamu jalan kaki? Mama kan udah bilang naek taksi aja. Kalo ada apa-apa gimana?", ujarnya seraya menoleh. Aku menjawab sekenanya, "Males ah. Toh juga ngabisin duit. Naek taksi kan mahal".
"Tapi kan mama khawatir, Rio! Sudahlah jangan bantah mama lagi. Pokoknya sekarang ganti baju kamu dan makan siang, setelah itu kita berangkat ke rumah sakit", kata mama. Nadanya acuh. Sama sekali tidak terdengar se-khawatir itu. Sama sekali tidak seperti itu. Seolah itu hanya kewajiban untuk mengatakannya.

Ah, ya. Mama memang seperti itu. Terkadang aku bingung sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya. Ia bukan tipe orang yang lembut dan berkata halus teratur. Ia selalu mengekspresikan kekhawatirannya padaku dengan kata-kata bernada tinggi. Rasanya sakit sekali. Tapi mengingat aku anak laki-laki, kadang kutelan saja pahitnya.
Di perjalanan pulang dari rumah sakit yang membosankan, aku menulis status terbaru di twitter. Hari ini jadi vampir lagi!, tulisku seperti itu. Seminggu sekali aku menulis seperti ini, kadang teman-temanku bingung sendiri lalu menanyakan. Tapi aku akan berpura-pura tertawa dan berkata bahwa itu hanya kalimat iseng pencari perhatian.

"Kamu tunggu disini, mama ada urusan sebentar. Jangan keluar mobil, Rio. Kamu ngerti?", kata mama setelah memarkirkan mobil di depan sebuah perusahaan besar. Aku mengangguk malas tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.
Lalu ketika mulai merasa bosan, aku mencari kegiata lain sampai kutemukan agenda kecil yang selalu dibawa zmama kemana-mana, terselip diantara jok yang didudukinya tadi. Mengintip sedikit boleh kan? Ah, pasti boleh. Apa yang sih yang disembunyikan mama dariku? Pasti ini hanya daftar belanja bulanan dan jadwalnya mengikuti kelas yoga dan arisan ibu-ibu satu komplek. Tentu aku boleh lebih daripada sekedar mengintip.

Benar saja, catatan khas ibu-ibu seperti biasanya. Tapi aku tertegun ketika di halaman tengah bagian notes, mama menulis tentangku dan menyelipkan fotoku disana.

Maafkan mama, Rio..
Mungkin beginilah cara mama menyayangimu, dengan menjauhkanmu dari segala hal yang bisa membahayakanmu. Mungkin cara mama salah karena memperlakukanmu seperti anak TK dimana kenyataannya kamu sudah duduk di bangku SMA. Mama tau kamu malu, tapi ini semua untuk kebaikan kamu. Mama gak mau kehilangan kamu.. mama ingin memberikan waktu sebanyak-banyaknya agar mama bisa terus bersama kamu.
Kamu tau ini salah mama, Rio.. dan beginilah cara mama menebusnya.

Namaku Rio. Sejak lahir aku menderita penyakit keturunan bernama Hemofilia. Penyakit terkutuk yang hanya bisa dimiliki oleh laki-laki. Penyakit dimana penderitanya tidak mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan luka di tubuh hingga pendarahan terus terjadi. Ini yang kusebut dengan menjadi vampir, karena aku harus menerima transfusi darah ketika tubuhku hanya tergores sedikit, darah akan mengucur deras dari bagian tubuhku yang terluka itu lalu akan lama berhenti. Melebihi luka seseorang yang mengalami kecelakaan. Tubuhku sering memar kebiruan hanya karena benturan kecil. Rasanya sakit sekali. Sekarang kalian tahu mengapa mama tidak pernah mengizinkanku mengikuti pelajaran olahraga.

Ini juga alasan mengapa aku terlahir sebagai anak tunggal. Aku seharusnya punya adik, tetapi bayi perempuan yang memiliki hemofilia tidak akan pernah bisa terlahir ke dunia. Ia akan meninggal saat masih menjadi janin sebelum dilahirkan. Anak laki-laki yang terlahir sebagai pengidap hemofilia pun tidak pernah ada bersejarah memiliki umur panjang. Itulah juga alasan mengapa mama menyalahkan dirinya sendiri untuk penyakit mengerikan ini. Karena ialah yang berperan sebagai pembawa penyakit ini sedangkan papa adalah laki-laki normal tanpa penyakit keturunan. Satu-satunya alasan mengapa ia merasa bersalah.

Tapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin peduli lagi. Aku hanya ingin bersama mama, orang yang mungkin paling menyayangiku diseluruh dunia. Aku tidak ingin mama menebus kesalahan apapun, karena Tuhan memang sudah menggariskan seperti ini. Aku bahagia, karena aku adalah bagian dari diri mama.
Aku tak peduli seberapa lama Tuhan memberikan sisa waktu
Bagiku ada mama disini sudah cukup..

Monday, January 30, 2012

Tenang Saja, Aku Bisa Menjadi Kamu.. (cerpen)

Hanya kesetiaan dan pengorbanan kecil ini yang bisa kuberi
Aku bisa menjadi kamu...




Aku bosan berada disini. Aku tampak seperti laki-laki lemah yang hanya bisa menyusahkan orang lain. Aku malu dengan perempuan kecil itu, yang sudah ku janjikan untuk hidup bahagia nantinya bersamaku. Tapi sekarang? Rumah sakit inilah tempat tinggalku. Ah, aku sudah merasa begitu lelah berada disini. Kadang aku menangis dalam doa malam, apakah jantungku yang lemah ini akan mengakhiri janjiku padanya? Dia yang begitu setia berada disisiku sejak dulu.

"Kamu ngelamun terus hari ini. Kenapa?". Suaranya yang lembut menyadarkanku. Disebelahku ia duduk dengan kedua tangan di dagu, sejak tadi memandangiku. Ah... dia ini. Apa jadinya aku tanpanya? Harusnya aku bersyukur masih diberikan cukup umur untuk bertahan hidup oleh Tuhan. Harusnya aku tidak boleh mengeluh dan berjuang untuk sembuh. Ku acak-acak rambutnya sambil tertawa kecil, hal yang sungguh ku suka karena selanjutnya dia pasti akan cemberut dan sibuk menata rambutnya kembali.

"Suka-suka aku dong. Aku lagi mikirin seseorang....", jawabku seiring tersenyum jahil. Perlahan raut wajahnya berubah, "Pasti aku ya? Iya kan?", tanya-nya ceria. Ya. Dia selalu ceria walaupun sebenarnya mudah tersentuh dan cenderung cengeng. Dia suka bercerita apa saja asalkan bisa terus berbicara. Saat tertawa, kedua ujung bibirnya akan terangkat lebar dan matanya akan menyipit. Aku suka sekali.

"Dih, pede aja. Pokoknya dia itu orang yang penting selain orang tua dan keluarga aku". Mendengar jawabanku dia berhenti bertanya. Aneh, biasanya dia akan tetap bertanya jika sudah terlanjur penasaran. Sudahlah, mungkin dia juga sudah tau.

Sudah lebih dari dua bulan aku berada di rumah sakit ini. Sebenarnya aku sudah menderita lemah jantung sejak kecil, tetapi tidak begitu ku hiraukan. Mama dan papa juga sudah pernah mengobatiku dahulu dan kelihatannya penyakit ini pergi begitu saja. Tapi seiring bertambahnya umur, kondisiku semakin tidak stabil saja. Kadang tiba-tiba dadaku sakit walaupun tidak sedang terkejut. Aku yang masih duduk di bangku SMA saat itu memberanikan diri menerima kertas hasil pemeriksaan di rumah sakit seorang diri. Aku tentu saja tidak ingin orangtuaku dan dia tau. Dokter berkata aku harus segera menjalan pengobatan intensif walaupun hanya rawat jalan.

Aku sudah bersamanya sejak sekitar lima tahun yang lalu. Saat kami berdua masih menganggap sebuah hubungan tidak untuk terlalu dipusingkan. Tapi hatiku memilihnya karena apapun yang ada pada dirinya sampai sekarang.

"Kamu inget nggak dulu kamu pernah nyelamatin aku waktu aku hampir ditabrak mobil?", pertanyaannya kembali membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum melihatnya. Tentu saja aku tidak pernah lupa. Saat itu aku meninggalkannya sebentar untuk membeli es krim kesukaannya. Dia yang tidak bisa diam itu pergi menyusul ke sebrang jalan dengan wajah polos, tanpa menyadari sebuah mobil sedan melaju kencang tepat ke arahnya. Jantungku rasanya ingin meledak. Cepat aku berlari tanpa mempedulikan panggilan si tukang es dan jantungku yang mulai terasa tertusuk. Yang ada di benakku hanya sosoknya dan jarak mobil itu yang sudah semakin dekat. Saat aku berhasil menyelamatkannya, ia menangis dan tanpa henti meminta maaf.

"Aku nggak akan pernah lupa. Dasar ceroboh", ujarku membelai rambutnya. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Aku mau kali ini kamu nyelamatin nyawa kamu sendiri. Dokter udah bilang kan kalo kamu bisa transplantasi jantung secepatnya?". Ah ya, tadi pagi dokterku mengatakan itu. Sontak aku mengangguk, aku ingin secepatnya pulih dan melanjutkan mimpi dan hidupku. Ia tertawa senang dengan bulir air mata yang hampir menetes.

Hari itu datang juga. Aku sudah berada di ruang operasi ini cukup lama tanpa boleh ditemani oleh satu anggota keluargapun. Rasanya tentu saja tegang dan takut, tapi keinginanku untuk sembuh mengalahkan segalanya. Entah sudah berapa jam aku tidak sadarkan diri. Saat pertama kami kubuka mata, yang terlihat adalah mama, lalu disusul oleh papa serta adik dan kakakku bergantian karena aku hanya diperbolehkan dijengok oleh satu orang. Mama terlihat senang sekali sampai menangis bahagia setelah tau bahwa operasiku berjalan lancar dan aku akan segera pulih.

Lalu saat aku sudah bisa duduk sendiri, mama memberiku surat itu. Ia bilang dari perempuan kecilku. Kemana dia? Tidak taukah dia semangatku ini karenanya? Ku baca kata demi katanya..



...
Aku tau kamu pasti akan sembuh secepatnya

Bukankah aku sudah berkata kamu akan menyelamatkan nyawamu sendiri?
Aku bahagia melihatmu... Aku bahagia dari tempatku sekarang berada

Awalnya aku bingung bagaimana aku bisa berguna bagimu, lalu akhirnya aku tau apa yang bisa ku lakukan. Maaf jika aku menyembunyikan kanker pankreas ini sejak lama. Aku hanya ingin menjadi aku yang biasanya di hadapanmu tanpa perlu terbebani dengan beberapa bulan sisa hidupku. Nyatanya aku bahagia jika kau bahagia.

Dengan jantungku yang ada padamu sekarang, aku tau selamanya kau akan mencintaiku. Selamanya kau akan merasakan cintaku dan pengorbanan kecil ini. Jantungku ini tidak akan membuatmu sakit. Aku tidak akan membuatmu sakit..

Jadi hiduplah, hiduplah dengan bahagia. Karena mulai sekarang aku juga akan merasakan apa yang kau rasa di jantungmu itu. Hiduplah dengan rasa cintaku ini..

Kau tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku akan selalu menjagamu. Jadi teruskanlah mimpimu walaupun dengan orang lain. Hanya kesetiaan dan pengorbanan kecil ini yang bisa kuberi. Aku bisa menjadi kamu...