Saturday, October 12, 2013

Putih Abu-abu


Masih ingatkah kau bahwa kita pernah mengecap putih abu-abu?
Masih ingatkah kau bahwa kita pernah menjadi "putih" dan "abu-abu"?




Ku pandangi ingar bingar yang masih terpatri sejak tadi. Hidup, nyata, memberikan rasa hangat yang mengaliri celah-celah hati. Hari ini upacara kelulusan sekolah. Wajah-wajah bahagia membanjiri aula sekolah kala kami dinyatakan lulus 100%. Ada yang berteriak, tertawa kegirangan, saling memeluk satu sama lain. Semua mata memancarkan keharuan sebagai wujud rasa lega penantian yang rasanya sudah berjalan begitu lama. Para pahlawan tanpa tanda jasa kami sudah berbaris untuk menerima salam terakhir, salam yang akan menghantarkan kami pada jenjang yang bukan hanya lebih tinggi dari ini, namun juga jenjang yang akan lebih mengajarkan bagaimana kerasnya hidup.

            “Kamu harus wujudkan cita-cita kamu ya, Citra.” suara Bu Lina lirih saat keningku menyentuh punggung tangannya. Sambil mengangguk kuselipkan setangkai bunga mawar putih di sela jemarinya.

            “Citra mohon doanya, Bu.” Sahutku tak kalah pelan. Hanya itu yang sanggup ku ucapkan diantara beragam kalimat perpisahan yang telah kusiapkan sebelumnya.

            Ketika semua sibuk saling menorehkan coretan di seragam masing-masing, ku pandangi lekat-lekat tiap sudut sekolah yang terjangkau mata. Betapa akan kurindukan semua sosok yang biasa ku temui selama tiga tahun berada disini. Betapa akan ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di tiap jengkal aku melangkahkan kaki. Kenangan yang akan selelu ku bawa bentuk abstraknya, namun tidak akan bisa terulang.

            “Citra, gue tanda tangan di seragam lo ya!” kubiarkan saja beberapa teman menggoreskan tanda tangan dan semprotan pilox diatas seragamku yang masih bersih. Pandanganku jatuh pada salah satu bangku taman di bawah pohon rindang. Disana tempatku biasa menghabiskan waktu sebelum jam pelajaran tambahan dimulai. Membaca buku, mendengarkan musik, bermain gitar, atau hanya sekedar mengobrol santai. Lalu mataku berhenti pada lapangan basket yang basah karena hujan yang baru saja reda. Masih teringat jelas gemericik air yang beradu dengan suara pantulan bola basket dikala jam pelajaran olahraga. Lalu aku menggeleng pelan. Tidak. Jika diteruskan, akan ada lebih banyak kenangan lagi yang membludak dan mengajak untuk dibawa pulang.

            Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan saat sesosok anak laki-laki dengan seragam yang sudah penuh coretan warna warni datang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Selamat ya, Citra. Pasti lo seneng banget bisa keterima di universitas dan jurusan yang lo suka tanpa perlu ikut tes seleksi masuk.”

            Sontak bibir dan mataku membentuk lengkungan senyum. “Apaan sih lo, sok formal tauk! Kita sahabatan udah lama gak usah pake salam-salaman segala lagi.” ku bubuhkan tanda tangan di kerah bajunya, satu-satunya celah yang masih kosong. Refleks otakku merekam senyumnya sekali lagi. Mata, hidung, keseluruhan wajah dan posturnya kusimpan rapi bersama semua kenangan yang ada di setiap sudut sekolah. Saat bermain basket bersama, mendengarkan musik dengan dua ujung earphone dibagi menjadi dua, bernyanyi sambil bermain gitar, atau bercanda sembari mengunyah bekal. Semuanya begitu berharga, sayang untuk dilupakan. Tapi aku sudah bertekad untuk meninggalkan semuanya seiring langkah kaki menuju gerbang sekolah. Berikut bersama perasaan yang sudah susah payah disimpan bertahun-tahun lamanya.

            Untuk terakhir kalinya, kuperhatikan lagi seragam putih abu-abu yang masih melekat di badan. Walaupun tidak lagi utuh berwarna putih bersih, tapi masih ku ingat bagaimana seragam ini menemani masa-masa sekolah. Masa dimana kita semua masih putih, masih naif. Masa dimana kesalahan masih bisa ditoleransi karena kita masih bisa disebut remaja. Masa yang memberikan begitu banyak pelajaran. Putih abu-abu. Bagaimana sikap dan perbuatan kita dulunya begitu abu-abu. Tidak gelap, tidak juga terang. Pendirian masih terus berubah-ubah. Abu-abu adalah satu fase menuju warna yang lebih tetap, lebih pasti dan jelas. Aku tersenyum sembari memejamkan mata. Ah, putih abu-abu ku begitu sempurna.