Wednesday, September 19, 2012

I Love(ed) You (Part 1)

Semangkuk mie instant ini rasanya sulit sekali dihabiskan. Entah mengapa rasa laparku seketika hilang saat melihatnya tersenyum pada orang lain. Senyum yang dulu hanya milikku, dan aku berhak marah jika ia membaginya dengan yang lain. Ya, Dia. Sudah sekitar tiga bulan setelah kami memutuskan untuk tidak lagi bersama. Alasannya karena...karena...Ah! Aku tidak ingin mengingatnya. Lagipula aku sudah lupa. Tepatnya harus dilupakan. Setidaknya itu yang dikatakan sahabatku ketika aku bertanya harus bagaimana dengan kenangan kami yang terus berseliweran di benakku tiap kali melihat sosoknya melintas.

Sejak kejadian itu, ia tidak pernah lagi tersenyum. Tepatnya tidak pernah lagi tersenyum seperti itu untukku. Jangankan mengobrol seperti biasa, bertegur sapapun kami enggan. Entah mengapa rasanya sulit untuk sekedar menyapanya. Mungkin karena kenangan selama hampir dua tahun bersama yang menjadikanku canggung untuk bicara padanya mengingat status kami sudah tidak lagi sama seperti beberapa waktu yang lalu.

Tepukan kecil dipundak membuyarkan lamunanku. “Woy, Bal! Yee ngelamun aja. Ngeliatin apa lo?”, ujar Badai yang langsung duduk disebelahku dan dengan lahapnya menyendok mie yang baru dipesannya.

“Lo ngagetin gue aja”

Seraya melihat ke arah pandanganku, Badai tersenyum. “Iqbal...Iqbal. Kalo lo masih sayang sama Fira, kenapa ga balikan aja?”, ujarnya sembari menyeruput es teh manis.

“Gak ah, gue gak mau”, jawabku pendek lalu menjejalkan mie kedalam mulut.

“Yaudah makanya lo lupain dia kalo gak mau balikan. Susah amat”

Itu masalahnya. Aku merasa ada banyak hal yang masih mengganjal dan perlu dibicarakan dengannya. Melupakan? Rasanya bukan ide yang bagus.

“Lo kenapa sih Fir? Gue tau lo sok-sok senyum aja daritadi. Pikiran lo kemana?”, ujar Aldi sambil mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan wajah Fira. Sahabat barunya ini sekarang jadi sering melamun dan menjadi sedikit pendiam. Tatapannya juga seringkali dingin dan kosong. Jika sudah seperti itu, harus ada yang menyadarkannya untuk sedikit tersenyum walaupun terlihat canggung.

“Gue baik-baik aja kok. Emangnya gue kenapa?”, jawab Fira sambil tersenyum kecut dan memainkan sedotannya. Jus mangganya baru seperempatnya diminum.

Aldi memilih diam daripada terus membahasnya. Ia tahu sedari tadi Fira sesekali mencuri perhatian pada Iqbal yang duduk di bangku paling sudut di kantin. Sejak putus dari Iqbal, Fira akan marah dan sensitif jika orang disekitarnya membicarakan tentang Iqbal. Ia akan melengos pergi atau berpura-pura tidak mendengar.

Saat hendak kembali ke kelasnya, Fira berhenti sejenak di koridor panjang lantai tiga yang sepi. Ia hanya berdiri menatap lapangan sepak bola tempat ia dulu sering berteriak dibawah panas matahari untuk mendukung Iqbal yang sedang bertanding. Tidak peduli tubuhnya sudah bau matahari dan rambutnya sudah berminyak atau tatapan aneh teman-teman yang lain karena ia berteriak seperti orang bodoh, ia hanya ingin menjadi satu-satunya orang yang dilihat Iqbal saat memasukkan bola ke gawang. Rasanya seperti baru kemarin.

“Sejak kapan kamu temenan sama Aldi?”

Fira tersentak dari lamunannya dan lebih terkejut lagi saat berbalik dan mendapati Iqbal sedang menatap lurus ke matanya. Itu kalimat pertama yang diucapkan Iqbal secara langsung padanya sejak mereka putus.

“Kenapa?”, jawabnya pendek sembari mengalihkan pandangan.

“Seinget aku kamu gak pernah segitu deketnya sama dia. Jangan bilang kalo...”

“Lo cemburu?”, tanya Fira memotong ucapan Iqbal yang belum selesai.

Iqbal mengalihkan pandangan, “Nggak. Buat apa?”

Fira tersenyum sinis dan menatap tajam mata lawan bicaranya, “Kalo lo gak punya alasan yang jelas mendingan gak usah komentar”. Itu kata-kata paling sinis yang pernah diucapkan Fira padanya.

“Sejak kapan kamu...”

“Kalo gak ada hal penting yang mau dibicarain lagi gue masuk kelas dulu”, ucap Fira sekali lagi tanpa mempedulikan kalimat Iqbal yang belum selesai. Ia berjalan perlahan tanpa menoleh, lalu hilang di balik lorong. Meninggalkan Iqbal yang hanya bisa menatap punggungnya. Hanya seperti itu? Hanya seperti itu saja percakapan pertamanya dengan Fira setelah tiga bulan? Bahkan tidak sedikitpun Fira menanyakan kabarnya? Yah, walaupun dia yang terlebih dahulu menanyakan tentang Aldi tapi apa salahnya dijawab baik-baik? Pikiran-pikiran itu berkelebat di benaknya.

Matahari siang tidak  bisa lebih terik lagi. Fira berjalan terseok-seok menyusuri trotoar menuju rumahnya yang hnya berjarak satu kilometer dari sekolah. Biasanya kalau tidak diantar Iqbal, dia lebih suka berjalan kaki seperti ini. Lho? Kenapa dia jadi mikirin Iqbal lagi? Ah sudahlah, toh laki-laki itu juga belum tentu juga memikirkannya.

Tepukan halus di pundak menyadarkan lamunannya, “Hei”. Fira mendongak dan menemukan wajah yang baru saja beberapa detik yang lalu berusaha dienyahkannya dari pikiran. Well yah, lain kali mungkin ia tidak perlu mengingat orang ini jika tidak siap didatangi betulan. Tapi memangnya kenapa dia tidak siap? Entahlah, hanya senyum samar yang bisa diberikannya saat ini. Respon datar membuat Iqbal hanya menjajari langkah Fira dalam diam.

“Lo ngapain ngikutin gue?”, tanya Fira tanpa sedikitpun berniat menoleh atau memperlambat langkah. Cuaca makin panas, pipinya juga memanas.

“Aku ga boleh anterin kamu pulang?”

“Ada yang mau lo omongin sama gue?”, tanya Fira tembak langsung. Sudah tiga bulan ia tidak pernah melakukan kebiasan rutin ini dan sampai sekarang belum terbiasa. Ia tidak yakin tiba-tiba Iqbal begitu saja ingin mengantarnya pulang jalan kaki seperti jika tidak ada yang ingin dibicarakan. Apalagi sebenarnya arah tujuan mereka berbeda.

“Aku ga mau berantem, Fir”. Iqbal menahan lengan Fira untuk berhenti sejenak tepat di bawah pohon rindang yang sedang mereka lalui. Ia ingin bicara, tapi tidak tau tentang apa. Mungkin ia hanya ingin berada di sisi Fira seperti biasa, tapi sepertinya cewek itu sedang tidak dalam mood yang bagus hari ini. Atau memang itu cara Fira memperlakukannya sekarang?

“Gue juga nggak”, jawab Fira sekenanya. Ia ingin melanjutkan langkah tapi jemari Iqbal masih menahan lembut lengannya dan rasanya tidak sopan jika ia berusaha melepaskan. Atau ia tidak ingin dilepaskan? Tunggu! Gagasan seperti apa itu? Tidak tidak tidak. Pikirannya seketika menolak gagasan itu.


to be continued...