Saturday, November 2, 2013

Theory of Dream



Sejak kecil, gue punya banyak mimpi tentang masa depan, tentang bakal jadi apa gue nantinya. Mulai dari jadi dokter karena pengen nolongin orang, jadi penulis simply karena gue rutin nulis diary, sampe jadi tour guide profesional yang kerjaannya mondar mandir keliling dunia. Mungkin ada orang yang cuma punya satu mimpi seumur hidup yang dia bawa sampe kapanpun tanpa niat untuk merubah mimpi tersebut, tapi ada juga manusia-manusia super labil seperti gue yang semakin dewasa malah semakin bingung pengen jadi apa. Nggak mudah untuk bisa jadi konsisten, ngebawa satu impian terbesar lo seumur hidup dan mati-matian ngejer itu supaya bisa terwujud. Semakin dewasa, automatically keputusan yang lo ambil menyita lebih banyak logika daripada perasaan. Itu juga berarti impian lo akan dipengaruhi oleh hal-hal eksternal selain kemauan lo sendiri, misalnya keinginan orang tua atau tuntutan lingkungan. Tapi untuk manusia sejenis gue, bukan hal-hal semacam itu yang bikin impian gue gak pernah bertahan tetap dalam jangka waktu lama, tapi justru ada banyak hal-hal internal dari diri gue sendiri yang kadang jadi pengganggu. Misalnya, ada banyak hal yang gue suka dan gue minatin, dan dari situ juga ada banyak prospek yang bisa dijadikan pilihan sebagai impian, dan itu makin bikin gue bingung.

            Bicara soal mimpi, gue jadi inget beberapa quotes dari orang atau film yang begitu mengagung-agungkan kekuatan dari sebuah mimpi. Seperti misalnya Agnes Monica yang jungkir balik meyakinkan orang banyak dengan theory of believing dreams-nya itu. Dia bilang dengan percaya akan kekuatan sebuah mimpi dan usaha, you could make it happen. Atau seperti katanya Herjunot Ali di film 5cm, “Mimpi akan membuat manusia lebih dari sekedar seonggok daging yang punya nama”. Atau yang paling lucu adalah salah satu kutipan dialog dari novel Melbourne yang masih gue inget sampe sekarang. Saat si cewek gak rela pacarnya mengejar mimpi terbesarnya di negara orang, si cowok berkata kira-kira begini; “Hanya karena lo gak punya mimpi, bukan berarti lo bisa seenaknya menghina dan menghancurkan mimpi orang lain. You are the pathetic person complaining about not having a dream, tentang gak punya destinasi kehidupan yang jelas karena masih belom tahu siapa elo sebenarnya. Jadi jangan bawa-bawa gue dalam teori lo yang messed up itu. I’m not like you.”

            Dari semua itu, gue jadi mikir apakah serendah itu derajat orang-orang yang gak punya mimpi spesifik tentang masa depannya sampe bisa dibilang Cuma seonggok daging yang punya nama? Bukan berarti gue gak percaya tentang teori mewujudkan mimpi dan sebagainya, tapi apa yang salah dari orang-orang yang belum bisa menentukan patokan khusus tentang akan jadi apa dirinya di masa yang akan datang? Mungkin dalam hidup, lo akan menemukan orang yang seolah hidupnya sudah terencana dan tertata rapi. Memperoleh gelar cum laude saat lulus kuliah, bekerja di perusahaan ternama dengan jabatan dan gaji diatas rata-rata, serta menikah sebelum umur kesekian. Positifnya adalah, orang-orang seperti itu adalah tipe yang konsisten dan disiplin dalam hidup. Mereka tahu benar apa yang mereka inginkan berikut cara mewujudkannya, tapi bukan berarti orang yang belum tahu mimpi terbesarnya adalah orang-orang tanpa tujuan hidup yang jelas. Berani taruhan, inti dari semua perjalanan hidup yang orang inginkan adalah ending yang bahagia. Tapi hidup bukan hanya sekedar menjadi bahagia sesuai tata aturan. Terkadang lo juga harus peduli bagaimana proses menuju kebahagiaan itu. Jadi menurut gue, orang yang punya banyak keinginan dan mimpi itu hanya belum menemukan apa yang mereka mau dalam hidup untuk jangka waktu yang lama. Life is a matter of perspective.

            Ini bukan berarti gue gak setuju dengan beberapa quotes yang udah gue sebutin sebelumnya, tapi menurut gue mimpi lo yang tinggi itu gak akan ada gunanya sama sekali kalo lo gak berusaha bangun dan mewujudkan. Akan mudah bagi mereka untuk mengajak kita percaya pada mimpi karena tentunya mereka ini sudah sukses atau setidaknya punya satu mimpi besar yang mereka percayai. But the things is, kita yang menjalani. Mungkin ada banyak yang gak setuju dengan ini, tapi gue lebih memilih untuk menjadi orang dengan keinginan yang banyak dan gak terlalu mengangung-agungkan mimpi, daripada jadi orang yang hanya bisa bermimpi. It couldn’t even make me a better person. Gue gak mau jadi orang seperti itu.

            Mungkin sampai sekarang kalau ada yang nanya tentang mau jadi apa gue di masa yang akan  datang, gue masih belum bisa menjawab jelas. Selama ini gue selalu bertanya-tanya tentang banyak hal, kenapa begini kenapa begitu. Lalu kemudian lama-kelamaan gue jadi sadar, mungkin sebaiknya gue berhenti bertanya-tanya. I should stop questioning anything and start doing everything. Lakukan saja apa yang terbaik yang bisa kita lakukan dan jangan sia-siain semua kesempatan yang ada di depan mata. Toh juga gak punya satu mimpi besar gak akan bikin lo jadi pecundang. Bakal jadi apa kita nantinya, itu urusan belakangan. Bagi sebagian orang mungkin ini aneh, tapi gue lebih memilih untuk mengendalikan daripada dikendalikan oleh mimpi.

Saturday, October 12, 2013

Putih Abu-abu


Masih ingatkah kau bahwa kita pernah mengecap putih abu-abu?
Masih ingatkah kau bahwa kita pernah menjadi "putih" dan "abu-abu"?




Ku pandangi ingar bingar yang masih terpatri sejak tadi. Hidup, nyata, memberikan rasa hangat yang mengaliri celah-celah hati. Hari ini upacara kelulusan sekolah. Wajah-wajah bahagia membanjiri aula sekolah kala kami dinyatakan lulus 100%. Ada yang berteriak, tertawa kegirangan, saling memeluk satu sama lain. Semua mata memancarkan keharuan sebagai wujud rasa lega penantian yang rasanya sudah berjalan begitu lama. Para pahlawan tanpa tanda jasa kami sudah berbaris untuk menerima salam terakhir, salam yang akan menghantarkan kami pada jenjang yang bukan hanya lebih tinggi dari ini, namun juga jenjang yang akan lebih mengajarkan bagaimana kerasnya hidup.

            “Kamu harus wujudkan cita-cita kamu ya, Citra.” suara Bu Lina lirih saat keningku menyentuh punggung tangannya. Sambil mengangguk kuselipkan setangkai bunga mawar putih di sela jemarinya.

            “Citra mohon doanya, Bu.” Sahutku tak kalah pelan. Hanya itu yang sanggup ku ucapkan diantara beragam kalimat perpisahan yang telah kusiapkan sebelumnya.

            Ketika semua sibuk saling menorehkan coretan di seragam masing-masing, ku pandangi lekat-lekat tiap sudut sekolah yang terjangkau mata. Betapa akan kurindukan semua sosok yang biasa ku temui selama tiga tahun berada disini. Betapa akan ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di tiap jengkal aku melangkahkan kaki. Kenangan yang akan selelu ku bawa bentuk abstraknya, namun tidak akan bisa terulang.

            “Citra, gue tanda tangan di seragam lo ya!” kubiarkan saja beberapa teman menggoreskan tanda tangan dan semprotan pilox diatas seragamku yang masih bersih. Pandanganku jatuh pada salah satu bangku taman di bawah pohon rindang. Disana tempatku biasa menghabiskan waktu sebelum jam pelajaran tambahan dimulai. Membaca buku, mendengarkan musik, bermain gitar, atau hanya sekedar mengobrol santai. Lalu mataku berhenti pada lapangan basket yang basah karena hujan yang baru saja reda. Masih teringat jelas gemericik air yang beradu dengan suara pantulan bola basket dikala jam pelajaran olahraga. Lalu aku menggeleng pelan. Tidak. Jika diteruskan, akan ada lebih banyak kenangan lagi yang membludak dan mengajak untuk dibawa pulang.

            Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan saat sesosok anak laki-laki dengan seragam yang sudah penuh coretan warna warni datang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Selamat ya, Citra. Pasti lo seneng banget bisa keterima di universitas dan jurusan yang lo suka tanpa perlu ikut tes seleksi masuk.”

            Sontak bibir dan mataku membentuk lengkungan senyum. “Apaan sih lo, sok formal tauk! Kita sahabatan udah lama gak usah pake salam-salaman segala lagi.” ku bubuhkan tanda tangan di kerah bajunya, satu-satunya celah yang masih kosong. Refleks otakku merekam senyumnya sekali lagi. Mata, hidung, keseluruhan wajah dan posturnya kusimpan rapi bersama semua kenangan yang ada di setiap sudut sekolah. Saat bermain basket bersama, mendengarkan musik dengan dua ujung earphone dibagi menjadi dua, bernyanyi sambil bermain gitar, atau bercanda sembari mengunyah bekal. Semuanya begitu berharga, sayang untuk dilupakan. Tapi aku sudah bertekad untuk meninggalkan semuanya seiring langkah kaki menuju gerbang sekolah. Berikut bersama perasaan yang sudah susah payah disimpan bertahun-tahun lamanya.

            Untuk terakhir kalinya, kuperhatikan lagi seragam putih abu-abu yang masih melekat di badan. Walaupun tidak lagi utuh berwarna putih bersih, tapi masih ku ingat bagaimana seragam ini menemani masa-masa sekolah. Masa dimana kita semua masih putih, masih naif. Masa dimana kesalahan masih bisa ditoleransi karena kita masih bisa disebut remaja. Masa yang memberikan begitu banyak pelajaran. Putih abu-abu. Bagaimana sikap dan perbuatan kita dulunya begitu abu-abu. Tidak gelap, tidak juga terang. Pendirian masih terus berubah-ubah. Abu-abu adalah satu fase menuju warna yang lebih tetap, lebih pasti dan jelas. Aku tersenyum sembari memejamkan mata. Ah, putih abu-abu ku begitu sempurna.

Monday, September 2, 2013

Jalan Pulang

Teruntuk dua orang yang sangat berharga, yang semakin tumbuh dewasa
namun senyumnya tidak pernah berubah.

Ada yang berkata bahwa kita tidak pernah melupakan satu sama lain. Saat terpisah dan berbaur dengan lingkungan baru, kita terlihat saling melupakan. Seolah hidup hanya berbatas pada keadaan saat ini saja. Padahal kita hanya lupa untuk terus mengingat. Untungnya, tawa kita membawaku pada jalan pulang. Jalan dimana aku akan terus mengingat bahwa sejauh apapun aku pergi dan seluas apapun jarak membentang, aku masih terus mengingat 'kita'. Mungkin kita tidak lagi sama. Satu detik saja bisa mengubah seseorang begitu banyak, apalagi tahunan. Tapi satu yang bisa aku janjikan, bahwa sebesar apapun perubahan yang ada, akan selalu ada celah untuk sahabat. Mungkin terlihat klise dan sederhana, tapi kebersamaan dan tawa akan selalu diingat sampai kita menua bersama. Terimakasih untuk waktu-waktu yang menghantarkan pada kenangan manis bertahun-tahun lalu saat kita masih memakai seragam putih merah. Terimakasih untuk mengingatkanku pada jalan pulang.

Wednesday, August 21, 2013

Pelarian di Waktu Senggang

Pernahkah kau merasa begitu sulit untuk sekedar percaya? Bagiku, memberikan kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan selayaknya kau membalikkan telapak tangan. Hidup mengajarkanku bahwa tidak ada pihak lain yang bisa dipercayai sepenuhnya kecuali Tuhan dan diriku sendiri. Kesannya terlihat seperti menjauhi kehidupan dengan terkungkung dalam dunia milik pribadi. Bukan, bukan seperti itu. Aku pernah begitu percaya, pada kekuatan energi dahsyat bernama cinta yang begitu diagung-agungkan orang banyak. Aku merasakan apa yang disebut jatuh cinta, lalu tanpa diminta alam bawah sadarku menaruh kepercayaan sepenuhnya pada sosok yang kukira merupakan pangeran berkuda putih. Meski aku bukan putri dari negeri antah berantah, aku berharap dan percaya pebuh bahwa ia akan membawaku menjalani kehidupan yang lebih baik. Tapi kenyataan menghempasakanku. Benar kata orang, jika kau terlalu percaya maka kau nantinya akan merasakan luka yang terlalu dalam. Sejak sosok itu pergi, aku ingin menyerah pada cinta. Aku hanya percaya pada kekuatan cinta kasih yang diberikan oleh Tuhan, keluarga dan kerabat. Tidak, aku tidak ingin terjebak pada cinta yang tidak abadi lagi.

Lalu kau datang.
Aku tidak akan bercerita seolah-olah aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak, itu terlalu klise untuk hidupku yang terlampau realistis. Kau berarti lebih karena rasa nyaman yang kau berikan itu sama indahnya saat dulu kala dimana aku belum tergores luka. Tutur kata dan tatapanmu menjanjikan bahwa nantinya tidak akan ada derita. Kaulah sosok yang selalu ada saat aku benar-benar membutuhkan bahu sebagai sandaran. Sosokmu yang menghapus mimpi buruk dari kisah masa laluku yang kelam. Lalu tanpa sadar, aku kembali bisa percaya. Mengumpulkan sisa-sisa serpihan jiwa dan hati yang hancurnya sudah lebih dari lebur bukanlah perkara mudah. Aku harus benar-benar menata hati, menegaskan jiwa, dan memperhitungkan logika agar harga diriku sebagai perempuan tidak lagi terinjak hanya karena salah langkah. Aku butuh waktu untuk percaya kembali, bahwa pangeran yang akan menjemputku nantinya merupakan pantulan dari sosokmu.

Lalu ketika aku sudah siap, kau telah bersamanya.
Mungkin kau lelah menanti, mungkin juga kau bosan menunggu yang tak pasti. Atau mungkin aku yang terlalu lama menikmati waktu dalam kesendirian dan mengabaikanmu yang selama ini selalu menunggu di pintu depan. Berharap untuk dibukakan. Lalu karena cinta yang terlambat ini, aku hanya bisa menatap sosokmu dari belakang karena kau telah berpaling padanya. Mataku buta, hatiku tertutup rapat. Karena ketika kau katakan bahwa kita masih punya harapan untuk bersama, aku menyanggupinya. Ini seperti tanda tangan kontrak untuk menjadi kekasih gelap. Wanita yang selalu dinomor duakan. Tapi sekali lagi, akal pikiranku tidak berfungsi normal. Hati mengambil alih logika hingga aku hanya bisa menjadi kekasihmu di belakang layar saja. Aku memandangimu dengan hati-hati saat berkumpul dengan teman-teman lain, hanya agar tidak ada orang lain yang tahu bahwa kita sebenarnya masih saling terkait. Aku berlindung dibalik senyum palsu dan terpaksa menjauh darimu hanya agar kekasihmu tidak menaruh rasa curiga sedikitpun. Aku bersabar sewaktu kau membatalkan janji bertemu demi wanita itu. Keegoisanku berkata, biar saja kau bersamanya toh nantinya kau akan kembali padaku.

Tapi sikapmu yang semakin memprioritaskannya melemparkanku pada kenyataan. Kenyataan bahwa selama ini aku hanya kau jadikan sebagai wanita simpanan. Aku yang kau cari kala harimu sedang bosan atau pikiranmu sedang kacau. Kau bersandar pada pundakku saat butuh kekuatan, lalu ketika jiwamu sudah kembali normal, kebahagiaan malah kau bagi dengannya. Tidakkah kau berpikir bahwa pedih rasanya disembunyikan? Aku hanya kau jadikan sebagai ban cadangan yang akan kau gunakan saat keadaan mendesak. Yang menjadi pilihan terakhir saat seluruh ban utama sudah pecah. Padahal kau membutuhkanku untuk bisa kembali berjalan, tapi aku akan kembali kau lepaskan jika ban-ban lain yang lebih bagus itu sudah pulih kembali kondisinya.
Lalu bagaimana denganku? Aku akan kembali ditempatkan di bagasi belakang sembari memandang perjalananmu dengannya dari tempat yang tidak terjangkau. Sekarang kutegaskan saja, bahagiakanlah wanita itu sepenuhnya. Ambillah kembali semua kenangan manis yang selama ini kau berikan, aku sudah tidak membutuhkannya. Aku akan mencari pria yang sanggup menjadikanku sebagai prioritas utama. Pria yang tidak menjadikanku pelarian di waktu senggang saja.



Teruntuk Dinda, sahabat sepanjang masa. Pengalaman memperluas pembelajaran.
Jangan galau lagi ya!

Thursday, July 25, 2013

Perkara Tulis Menulis

Semua orang pasti punya hobi. Mulai dari sekedar hobi-hobi standar semacem baca buku, tidur, nonton film, dan yang paling kompleks, hobi kepo-in orang. Nggak, gue lagi gak pengen bahas postingan nyinyir begituan. Berhubung lagi gak ada kerjaan dan bingung mau nulis apa, mendingan bahas perkara hobi tulis menulis yang udah gue suka sejak jaman pake seragam putih merah dulu.
Mungkin asal mula gue suka nulis bisa dibilang karena gue juga hobi baca. Mulai dari baca komik, cerpen, novel, sampe baca spanduk dan baliho di pinggiran jalan. Mungkin hobi ini juga terpengaruh sama pribadi gue yang sejak kecil ga terlalu sering main-main keluar rumah kecuali sama tetangga yang paling deket atau saudara. Waktu kecil gue orangnya lebih suka ngabisin waktu berjam-jam di kamar baca buku dongeng daripada keluyuran main sepeda atau ngejerin layangan. Karena sering baca, gue jadi berpikir gimana asiknya kalau ntar gue bisa nulis cerita yang bisa gue baca sendiri, syukur-syukur kalo ada orang lain yang mau baca. Bermodal diary, gue mulai rutin nulis. Walaupun dengan tulisan yang berubah-ubah karena waktu itu gue masih labil, tapi gue tetep konsisten nulis sampe gue udah berkali-kali ganti diary. And guess what, sampe sekarang gue masih suka nulis diary walaupun udah jarang banget dan cuma kalo lagi pengen atau ada kejadian penting. Mungkin terkesan kekanak-kanakan, umur udah hampir ninggalin belasan gini masih aja pake nulis diary. Sok imut lah. Alay lah. Tapi somehow gue ngerasa kalo disana adalah ruang paling pribadi dimana gue bisa nyeritain apa aja yang menurut gue agak sedikit awkward kalo diceritain di ruang publik. Alasan lain adalah, nulis diary terkadang bukan cuma sekedar nulis. Rasanya kita bener-bener tahu dan ngerti apa yang kita tulis melalui tulisan tangan. As simple as that.

Lalu semakin umur gue bertambah, semakin gue suka baca beberapa bacaan yang rada serius dan berpengaruh pula sama hobi nulis gue. Gue mulai nulis cerita-cerita fiksi semacem cerpen dan novel. Waktu awal-awal masuk SMP, gue punya project novel sama temen-temen deket waktu itu. Ceritanya ringan dan masih dalam ruang lingkup anak sekolahan. Tapi sayangnya sampe sekarang cuma itu satu-satunya project novel yang belom bisa gue selesain lantaran gue udah jarang ketemu dan  tuker pikiran sama temen-temen deket dulu. Gue coba lanjutin sendirian, tapi tetep aja belom pas. Mungkin karena dari awal niat gue novel itu project bersama, bukan milik pribadi.
Terlepas dari itu, gue sering bikin cerpen dan beberapa berani gue kirim dan dimuat di surat kabar atau diikutin ke lomba-lomba cerpen. Sisanya gue simpen sendiri dan beberapa di posting di blog. Mungkin gue lebih pro nulis cerpen karena biasanya ide itu datengnya tiba-tiba dan mendesak untuk cepet ditulis, kalau gak ya bakal cepet lupa. Lagipula cerpen lebih cepet selesai dan masa produktifnya bisa kapan aja. Masa-masa SMP yang paling labil inilah jaman dimana gue lagi suka banget nulis. Sabodo teuing lah tulisannya gak sesuai EYD atau gak jelas alurnya, yang penting ide harus tersalurkan.

Banyak orang yang pengen hobinya bisa jadi pekerjaan. Bakalan asik banget kalo kita bisa kerja sesuai dengan hobi, pasti perasaan jenuh bakalan lebih mudah diatasin karena kita ngelakuin pekerjaan sesuai dengan apa yang kita mau dan kita suka. Dulu gue pengen banget jadi penulis. Tapi mengutip kata-katanya Kugy di novel Perahu Kertas bagian awal, "Jadi penulis itu gak realistis!". Kalimat ini muncul karena waktu itu Kugy yang pengen jadi penulis dongeng dihalangi cita-citanya karena pendapat orang-orang kebanyakan bahwa jadi penulis itu gak akan bisa bikin hidup kamu serba berkecukupan dibandingkan pekerjaan-pekerjaan mainstream seperti dokter atau pegawai kantoran. Walaupun jaman sekarang udah banyak buktinya orang yang bisa sukses dengan menjadikan menulis sebagai pekerjaan, waktu itu lingkungan memaksa gue untuk ngelupain cita-cita sebagai penulis dengan alasan yang sama seperti diatas. Nyali gue payah, mental gue ciut. Gue ngerasa kurang bisa survive dengan cita-cita yang akarnya pun belom mantap. Tapi sampe sekarang gue masih terus suka nulis, baik cerpen, artikel, puisi, prosa, atau novel walaupun pengerjaannya gak bisa dipaksa tenggat waktu deadline. Walaupun gak jadi pekerjaan, gue tetep suka nyalurin hobi sekaligus belajar dari bacaan-bacaan lain.
 
Tapi pada akhirnya gue bersyukur karena dengan kuliah di jurusan Hubungan Internasional, gue semakin dekat dengan menulis. Jurusan gue ini gak pernah lepas dari yang namanya baca dan nulis. Walaupun beda dengan sastra yang mungkin lebih deket sama hobi tulis menulis gue, setidaknya dengan masuk di jurusan ini gue bisa belajar menulis dengan format yang formal dan akademis. Hobi gue baca dan nulis juga ngebantu banyak untuk terbiasa nulis sekarang ini, jadinya hobi gue itu gak sisa-sia. Jadi dengan menjadi apapun gue di masa depan nanti, gue pengen terus bisa nulis. Disimpan sebagai milik pribadi atau dipublikasikan, gue pengen terus menulis. Sampai kapanpun.

Wednesday, July 17, 2013

Tentang Ayah (Fiksi)

Aku benci ayah.
Bukan, aku bukan anak yang berasal dari orangtua yang bercerai atau anak yang lahir dari ayah yang cacat seperti kebanyakan cerita di sinetron. Aku benci ayah karena ia tidak pernah bisa membahagiakan kami. Sebelumnya hidup kami tidak terlalu melarat sampai perlu berhutang ke warung hanya untuk mendapat beras. Sebelumnya kebutuhan pokok kami setidaknya selalu bisa terpenuhi walaupun ponselku tidak pernah berganti selama bertahun-tahun. Sebelumnya iuran sekolahku selalu bisa dilunasi setiap bulannya tanpa perlu menunggak. Tapi itu sebelumnya. Sebelum ayah mengacaukan semuanya.
Ayah bukanlah pegawai kantoran yang punya upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Walaupun juga bekerja di kantor, posisi ayah tidak lebih dari orang yang selalu membersihkan toilet atau menyediakan kopi dan teh bagi para karyawan setiap harinya. Ayah selalu berangkat pagi buta dan pulang larut malam hanya untuk memastikan bahwa seluruh lantai kantor sudah disapu agar terlihat bersih keesokan harinya. Ayah cuma seorang officeboy.

Aku tidak pernah bangga akan pekerjaan ayah. Kalau saja tidak ada ibu yang mengelola warung bakso kecil-kecilan milik keluarga kami, penghasilan bulanan ayah tentu saja tidak cukup untuk memenuhi setidaknya separuh dari kebutuhan kami. Terkadang hatiku terenyuh melihat bagaimana letihnya raut wajah ibu yang menyiapkan dagangan di tengah malam. Ibu tidak pernah memperbolehkanku ikut membantu. Anak laki-laki tertua yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hanya berkewajiban menuntut ilmu sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan nantinya, begitu kata ibu. Kedua adik perempuanku masih kecil dan yang satu terpaksa terlambat masuk sekolah karena tabungan ibu belum cukup untuk membayar uang pembangunan Sekolah Dasar yang cukup besar.
Lalu dimana peran ayah? Ayah selalu diam saat aku mengeluh pada ibu bahwa seragamku mulai lusuh. Ayah hanya memalingkan wajah waktu adikku merengek minta dibelikan sepatu baru. Ayah cuma bisa termenung saat rembesan air hujan menembus atap rumah kami yang sudah reyot. Ayah tidak pernah berbuat apa-apa. Bahkan ia hanya menatap kosong saat kehilangan pekerjaan satu-satunya.

Aku tahu dengan aku membenci ayah, Tuhan juga tidak akan senang. Malaikat di sebelah kiri pundakku akan mencatat amal buruk setiap kali aku mencibir tentang ayah. Dosaku akan kian menumpuk setiap kali menyalahkan ayah akan kehidupan kami yang kian memburuk saja. Terlebih lagi saat kulihat telapak tangan ayah melayang ke wajah ibu hingga menyisakan bekas merah yang menyakitkan, anggaplah aku anak durhaka, tapi rasanya aku ingin melakukan hal yang sama terhadap ayah. Lalu apa pedulinya jika aku pulang larut malam dalam keadaan mabuk? Toh aku tidak pernah meminta uang padanya. Lalu seiring dengan saling beradunya argumen, makian tidak henti-hentinya keluar dari mulutku. Tentang ayah yang tidak berguna, tentang ayah yang tidak bertanggung jawab, dan tentang ayah yang tidak bisa membahagiakan kami. Kuteriakkan semua isi hatiku yang selama ini hanya membuncah di benak saja. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Hingga pada akhirnya adu mulut ini berakhir dengan tubuhku yang lebam-lebam bekas hantaman sapu ijuk yang melayang dari lengan ayah, aku berdiri dengan sisa-sisa tenaga lalu tanpa menoleh pergi begitu saja melewati pintu rumah. Aku sudah sangat muak dan ingin pergi kemana saja asalkan tidak melihat wajah ayah. Ku langkahkan kakiku jauh dari rumah, tidak mempedulikan suara teriakan ibu yang membujukku kembali. Aku sudah terlalu benci ayah.

Berminggu-minggu aku tidak pulang. Meninggalkan sekolah, meninggalkan ibu dan adik-adik. Aku tidur dijalanan, mengobati rasa lapar dengan mengamen seadanya bermodalkan tepukan tangan. Serikali kudengar kabar dari teman-teman yang tidak sengaja bertemu di lampu merah bahwa ayah setiap hari mencari-cari keberadaanku. Ya, ayah yang ku benci setengah mati justru malah menjadi yang paling peduli. Tapi bukannya kembali pulang, aku malah melangkahkan kaki makin jauh dari rumah. Aku tidak mengerti sudah sejauh mana kedurhakaanku ini. Sudah sebenci inikah aku pada ayah? Entahlah, mungkin mataku yang terlalu buta untuk melihat sisi baik ayah, atau kepalaku yang terlalu batu untuk mengerti bahwa mungkin ayah akan membahagiakan kami dengan caranya sendiri.

"Woi! Lo denger gak sih? Masa cuma segini setoran lo hari ini?!"

Pukulan bertubi-tubi dari beberapa preman menghilangkan kesadaranku. Pikiranku melayang pada sosok ayah. Tidak seharusnya aku membenci ayah. Ayah sudah berusaha sekuat tenaga agar bisa membahagiakan kami. Jika ia kehilangan pekerjaan, tidak seharusnya pula aku mengutuknya tidak berguna. Tidak seharusnya aku melontarkan kata-kata kasar dan tatapan tajam. Walau bagaimanapun, dari ayahlah aku belajar untuk menyayangi ibu. Dari ayah juga aku bisa hidup.

Gelap. Sekujur tubuhku terasa sakit. Hanya tinggal terasa satu lengan yang menopang punggungku.

"Dani! Jawab ayah, Nak! Kamu ngga apa-apa kan?!"

Ayah? Itu suara ayah?
Tuhan, semoga aku tidak terlambat untuk bersujud dan mengucap maaf pada ayah.

Sunday, June 23, 2013

Well Actually...I'm Just Saying

It's been a long time since my last post! Things changed, people changed, and many things I wanna share but when it comes to the 'compose page' I thought maybe I shouldn't share everything. I'm in a good situation overall and I'm happy to have another new experience everyday. Now why should I compose this post in English? Well for this moment, I'm just feeling comfortable with this. Especially today I wanna talk about one of friend of mine.

I knew 'this friend' not long ago and I think 'this friend' is a good friend to talk with because of the friendliness. I used to have a good friendship with 'this friend' but as time goes by, I found something wrong with 'this friend'. Let me summarize the main characteristics of 'this friend': friendly, easy going, and...highly super selfish. I know its bad to say anything negative of someone else, but let me just saying and I'm just sharing it here. One of the reason why I can't stand of 'this friend' is because of the selfishness. The meaning of selfishness can be enlarged in many ways. For this case, I found that 'this friend' firstly often said and did mean and rude things whenever 'this friend' is angry or feeling upset. FYI, I'm not kinda person who used to use some rude words so its really annoying when 'this friend' started to say many bad things. Can you imagine 'this friend' shouted loudly to me one day just because of a little mistake that I made? 'this friend' say rude words to me while I just could keep silent because I didn't wanna do the same way. I take people in honor that none deserve rude words whatever we do. Really, I'm feeling upset at that time. Even my parents never say it to me.
Second, 'this friend' often underestimates people. I know 'this friend' comes from the family background who has a big name and richness if I can say that. But just because of that doesn't mean you can underestimate people and consider yourself as the best one or the super-powerful one. Why should I found it as a bad thing? Its because 'this friend' did it to me. 'this friend' thought that I'm not even a half of him, I can't do anything, I can't do business as he planned to do, and 'this friend's family is better than mine. Like, come on you can say anything you want but not my family. You'll be on a big problem. Seriously, this kind of person is really annoying. I mean, really.

Now, something bad happening with 'this friend' and I'm posting it not because I hate 'this friend', but I hope there is a silver lining that 'this friend' can take from the big problem of his life now. Being a mean, rude, selfish are not good for you. I'm not perfect that I can judge people, but at least I'm perfect enough to be a person who never underestimate others. Well Actually...I'm Just Saying.

Friday, April 26, 2013

Affair



Dia sangat cantik.
Di depan mataku dia terlihat begitu cantik bahkan ketika sedang mengunyah dengan mulut penuh seperti itu. Kesederhanaannya yang membuatku jatuh cinta. Pemandangan di depanku ini seketika mengingatkanku pada momen pertama kali kami bertemu. Ya, disini. Saat itu aku, laki-laki yang perfeksionis sedang menggerutu sambil terus mengelap kemeja licinku yang tidak sengaja ditumpahi jus tomat. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku harus menghadiri meeting penting bersama para investor. Yah walaupun aku dengan mudah bisa meminta sekretarisku untuk mengambil kemeja cadangan yang berada di lemari kantor, tapi tetap saja aku benci kecerobohan. Walaupun hal itu disebabkan oleh kekasihku sendiri. Saat itu perempuan yang sedang berada di hadapanku ini masih berwujud orang asing yang belum ku kenal. Ia duduk tepat di belakangku, sedang menikmati makan siang bersama teman sekantornya. Masih tergambar jelas di otakku bagaimana dia menertawai tingkah laku-ku yang menurutnya kekanak-kanakan dengan menyalahkan kekasihku yang pada saat itu tidak sengaja menjatuhkan segelas jus tomatnya.
         “Laki-laki kok repotnya melebihi perempuan..”, ujarnya di sela-sela tawa kecil. Aku ingat pada saat itu langsung refleks memutar kepalaku, menatapnya lekat dengan sorot mata yang tajamnya melebihi belati. Beraninya dia berbicara seperti itu. Saat itu yang terpikir di benakku hanyalah bagaimana mungkin ada perempuan yang penampilannya bisa berbanding terbalik dengan derajat kesopanannya. Dalam sekali pandang, orang lain bisa melihat kalau perempuan ini memiliki paras yang bisa dikatakan cantik dan penampilan yang modis. Namun aku bukanlah laki-laki yang bisa dengan mudah terpikat pada penampilan luar. Aku suka perempuan yang memiliki tata krama tinggi walau bukan berasal dari keluarga ningrat. Aku suka perempuan yang anggun dengan menjaga tutur kata serta pembawaannya.
Tapi...perempuan ini berbeda. Pertemuan pertama itu belum juga menyadarkanku bahwa ia nantinya akan menjadi orang yang penting bagiku. Pertemuan kami dilanjutkan dengan hubungan kerja antara perusahaan yang kupimpin dengan perusahaannya. Aku yang begitu logis tidak menganggapnya sebagai kebetulan, maka dari itu ku simpulkan bahwa memang Tuhan sudah menggariskan jalan bagi kami berdua untuk bertemu kembali. Nah, lalu siapa yang menyangka bahwa perempuan yang menurutmu begitu menyebalkan pada awal pertemuan akan menjadi istrimu di masa yang akan datang? Satu tahun sejak pertemuan pertama itu, cincin berlian dariku telah melingkar indah di jari manisnya. Kami jatuh cinta dengan cepat, merasakan bahagia dengan cepat, lalu kehilangan debar-debar itu dengan cepat pula. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa rasakanlah bahagia pelan-pelan, maka jika suatu saat ia hilang dan berganti kesedihan, kau tidak akan jatuh terhempas terlalu kuat.
        Mungkin kesalahan terletak padaku yang tidak bisa mentolerir perbedaan kami. Atau mungkin pada pribadi kami yang terlalu bertolak belakang. Adanya perbedaan justru akan memperindah ikatan suami-istri, bukan? Tapi tidak pada kami. Begitu banyak perbedaan yang kami tekan saat memutuskan untuk menikah –dengan harapan agar hubungan ini malah semakin langgeng dengan perbedaan- malah menjadi bumerang bagi kami sendiri.

         “Aku gak bisa jadi perempuan yang diem aja di rumah. Aku harus kerja!”     

Begitulah katanya saat aku protes ketika jam kerjanya bahkan melebihi aku yang notabene seorang diretur sebuah perusahaan besar. Aku paham bahwa pekerjaannya sebagai creative director sebuah perusahaan penyedia jasa periklanan begitu menyita waktu. Ia juga tipe perempuan yang mandiri dan kuat, namun harga diriku sebagai suami sedikit terhina saat aku sampai di rumah lebih dulu darinya walaupun hari sudah larut malam. Istri macam apa yang tidak menyambut kedatangan suaminya dengan segelas kopi atau pijatan hangat?
 
          “Aku belum siap dengan komitmen untuk jadi seorang ibu”

      Ini yang paling tidak masuk akal. Bukankah tujuan menikah adalah membina rumah tangga dan membesarkan keturunan? Setidaknya begitulah yang diajarkan kedua orangtuaku. Mungkin disanalah letak sisi negatif kemandiriannya. Ia begitu mencintai karir yang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Begitu cintanya hingga rela mengorbankan tahun-tahun pertama pernikahan kami tanpa seorang anak yang begitu ku idam-idamkan. Sekali lagi, aku merasa harga diriku sebagai suami tercoreng. Ini jelas keinginan sepihak.
      Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan saat sepasang matanya menatapku tajam. Pertengkaran hebat terjadi lagi. Debat kecil yang kemudian berubah menjadi teriakan-teriakan penuh amarah. Ah, aku sudah begitu muak padanya. Di hadapanku dia tidak lagi se-memesona dulu. Tidak ada lagi debaran kecil saat kugenggam tangannya. Tidak ada lagi kecupan hangat menjelang tidur. Ia sudah bukan perempuan manis yang sapaannya kutunggu tiap pagi. Setiap kali bertengkar hebat, ego kami melesak kuat hingga entah sudah berapa banyak kata-kata kasar keluar dari mulutku. Ku katakan saja, aku sudah tidak membutuhkannya. Siapa yang butuh seorang istri egois yang bahkan bisa dihitung berapa kali menyiapkan sarapan untuk suaminya? Lagipula aku bisa mendapatkan apapun yang ku mau seperti halnya dia. Kami dua sosok sama namun begitu berbeda.
         Teriakannya membangunkanku dari mimpi. Menyadarkanku pada kenyataan. Sialan! Apa sebegitu kuatnya sosok perempuan itu hingga akhir-akhir ini sering menjadi tokoh utama dalam mimpi burukku?

          “Mas, kamu kenapa? Mimpi buruk?”

     Kepalaku menoleh cepat pada perempuan yang berada dalam selimut yang sama denganku sekarang.
          Simpananku.

Tuesday, April 9, 2013

Hello Goodbye

Bukan. Ini bukan postingan review film semi Indonesia-Korea dengan judul diatas, bukan juga postingan galau karena gue bukan anak galauan. Seems like I'm bored doing nothing (padahal tugas lagi banyak-banyaknya), jadinya mending ada yang ditulis aja. Well actually it isn't topic that I used to post here. Instead of posting my 19th birthday moment as I wish, gue pengen cerita tentang pengalaman temen gue yang kisah cintanya udah kayak Cinta Fitri episode ke-574 (Iya, gue juga gak tau itu episode yang mana). Dia ini temen SMA gue dulu yang sampe sekarang masih suka kontak-kontakan walaupun kita udah kuliah di kota yang beda. Karena gue cuma dapet izin untuk mempublikasikan ceritanya, bukan orangnya, maka kita sebut saja dia Bunga. Gak mau tau, pokoknya sebut aja gitu.

Mungkin latar belakangnya dulu aja ya. Bunga ini orangnya ramah dan easy going. Dia pinter banget bergaul sama siapapun. I mean, siapa aja. Dia bisa dengan mudah akrab dengan orang lain meskipun baru kenal. Saking gaulnya, coba aja lo jalan ke mall sama dia. Lo bakal liat bukti ke-gaulannya waktu dia ketemu sama kenalannya yang sangat banyak sekali banget. Segitu banyaknya sampe mungkin setiap jarak 5 meter bakal ada yang ngenalin dia -bisa jadi adik kelas, temen satu sekolah, mantan, mantan gebetan, sampe kenalan di dunia maya yang biasa kontak lewat jejaring sosial- semua ada. Mungkin karena keramahannya itu juga banyak cowok yang salah mengartikan perhatian yang dia kasih. Kalo bahasa sekarangnya itu, ngerasa di-PHP-in. Pemberi Harapan Palsu, konsep yang sampe sekarang masih gue anggap ambigu. Apa indikator pengukur seseorang bisa dibilang tukang PHP? Mungkin letak kesalahannya bukan pelaku yang menebar harapan, tapi si korban yang terlalu berharap.

Okay, back to our main  point. Si Bunga ini cerita sama gue kalo ada banyak cowok yang ngedeketin dia dengan motif yang macem-macem mulai dari temenan biasa, temen tapi demen, temen dunia maya, modus kakak-adek tapi sayang-sayangan, sampe yang to the point pengen jadi pacar. Tapi si bunga ini orangnya gak mau dikekang. Menurut dia, pacaran cuma bakal bikin hidup jadi gak tenang karena harus ngurusin hal-hal perintilan khas pacaran, seperti: harus kabarin pacar setiap saat, harus laporan lagi dimana-ngapain-sama siapa, harus jaga perasaan biar gak salah paham, dan sebagainya. Nah karena anggapan ini, si Bunga ini jadi males pacaran dan memperlakukan setiap cowok dengan perlakuan yang sama. Baik. Perhatian. Penyayang. Pokoknya sikapnya manis banget kayak gula buatan.

Tapi semua berubah saat... (awas aja kalo dijawab 'negara api menyerang') akhirnya dia menemukan orang yang tepat. Sebut saja dia Jono. Oke, nama 'Bunga' dan 'Jono' memang kurang matching, tapi its okay-lah kalo tampangnya kayak Taylor Lautner. Kenapa gue sebut tepat? Karena cuma sama Jono, dia bisa jadi dirinya sendiri. Karena cuma di diri Jono, Bunga menemukan motif pertemanan yang tulus tanpa embel-embel harus jadi gebetan. Menurutnya Jono itu batu paling bersih diantara batu-batu lain yang dibaliknya ada udang. Mereka dulunya teman satu kelas di SMP dan Bunga mulai berpikir mungkin, di hati Jono-lah dia harus berhenti. Berhenti mencari dan mulai memberikan porsi sayang yang lebih besar untuk satu laki-laki, bukan memperlakukan mereka semua dengan sama.
Nah, waktu Bunga galau apakah bakalan jujur tentang perasaanya ini ke Jono, dia curhat ke gue. Waktu itu gue ketawa sambil bilang, "Rasain lo! Akhirnya mentok juga kan". Tapi si Bunga malah makin galau. Di satu sisi dia pengen jujur tentang perasaannya ke Jono, disisi lain dia takut kalau Jono bukan 'the one' dan rasa itu cuma peluru salah sasaran yang kebetulan nancep di hatinya. Liat temen gue yang galaunya udah akut gitu, gue coba kasih saran untuk yah..seenggaknya kasih kode.

Cowok memang spesies paling gak peka. Gue bilang ke Bunga kalo dengan cara diem gak bisa bikin dia sadar, then you should make a move. Well mungkin agak anti-mainstream kalo cewek duluan yang bikin first move, tapi gue bilang ke dia kalau walaupun kemungkinan terburuknya adalah ditolak, dia bisa ngerasa lega karena beban perasaan yang udah dia simpen selama ini bisa terangkat sedikit. Cinta dipendam kan bisa jadi jerawat.
Akhirnya Bunga mutusin buat ngaku kalo dia sayang sama Jono karena dia yakin banget kalo Jono punya rasa yang sama. Dan respon Jono adalah...pergi menjauh. Tanpa kabar. Tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tanpa salam berpamitan. Di hari Bunga ngungkapin perasaannya, Jono cuma bilang, "Makasih. Tapi aku gak bisa". Setelah itu si Bunga nelpon gue sambil nangis sesunggukan. Dia benci jatuh cinta. Dia ngerasa bodoh karena ngikutin hati untuk ngungkapin perasaan. Dia ngerasa rugi. Kalah.

Disinilah menurut gue dia salah.
Rasa cinta itu anugerah yang diberikan Tuhan. Apapun bentuknya, pada siapapun, dan bagaimanapun hasilnya -entah happy atau sad ending-, cinta tidak pernah salah. Mungkin disini yang salah adalah pelakunya. Mungkin Jono gegabah karena gak bisa menolak dengan cara yang tepat. Mungkin juga Bunga yang gak bisa ngebaca tanda-tanda apakah cinta bakal berpihak sama dia. Atau mungkin waktu bergulir di situasi yang salah? Entahlah. Yang jelas menurut gue bukan cinta yang salah.
Dari Bunga gue belajar kalau Hidup ternyata tidak selalu berjalan sesuai keinginan.