Monday, November 19, 2012

Postingan ditengah Hapalan

Lirik kanan, tumpukan textbook. Toleh kiri, notes dan kertas-kertas catatan.
Well, this is how I spend my night.



Minggu-minggu ujian mungkin masa-masa paling menyiksa buat makhluk seperti saya -yang baru aja terima almamater, yang baru tau rasanya kuliah- Baiklah mungkin agak hiperbola. Tidak menyiksa, cuma sedikit mengurangi jatah tidur. Apalagi yang shift ujiannya pagi-pagi buta. Kurang bahagia apa coba.
Jadi sistem ujian disini itu agak beda mungkin ya. Mungkin universitas lain ujiannya dikelang (ngerti ngga kelang? Di jeda gitu loh) satu atau dua hari antara satu mata kuliah sama mata kuliah lain. Tapi disini sistemnya, "berlibur-libur dahulu barulah mabok kemudian". Gimana ngga? Dikasih hari tenang 5 hari, setelah itu tiga hari berturut-turut ujian dengan mata kuliah yang...cius cumpah susah. Abis itu libur lagi lima hari dan ujian lagi dst dsb.

Masalahnya adalah, sudah sifat wajib manusia menunda-nunda pekerjaan. Libur lima hari itu tujuan normatifnya ya dipake belajar buat ujian yang tiga hari berturut-turut tadi. Tapi apa mau dikata, apa daya upaya, malas tidak terelakkan. Hari pertama libur mikirnya ya, alah baru juga hari pertama, santai ajalah. Hari kedua, udah besok-besok juga bisa, masih ada tiga hari ini. Hari ketiga, besok deh ya. Nah baru pas menjelang hari keempat selesai dan menuju hari terakhir liburlah, akal sehat baru jalan. Where have you been huh? HAHA.

Apalagi godaan ada banyak. Pertama, bales dendam waktu tidur. Beberapa minggu ini jadi sering tidur pagi gara-gara project ICOBIRD-nya HI. Bikin video stop motion sampe pagi sementara besok pagi-panginya mesti jadi liason officer Prof. Elliot. Tidur jam setengah lima pagi itu masih mendingan, banyak temen-temen yang bahkan ngga tidur sama sekali. Makanya libur yang beginian jadi ajang bales dendam. Si Kathlin aja tuh kemaren yang kebagian jatah ngga tidur sama sekali selama dua hari berturut-turut, jadinya pas ada kesempatan bales dendam dia tidur udah kayak orang mati.
Kedua, si-serigala-ganteng-berbadan-kekar-ku itu sudah memenuhi bioskop-bioskop seantero Indonesia. Breaking Dawn Part 2 memang godaan paling dahsyat apalagi Jacob Black-nya. Can't imagine before that the ending would be like this. Perspektif awalnya sih full of romantic stuffs, ternyata sutradaranya cukup pinter bikin ending yang kalo kata Syahrini sih cetar membahana badai. Anyway it's the best recommended movie of the year I think.

Besok itu hari kedua ujian berturut-turut setelah lima hari libur. Indonesia dalam Persfektif. Politik. Ekonomi. Besok lusanya lagi Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Realisme. Liberalisme. Marxisme. Belum lagi tugas summary Sejarah Dunia Modern yang sampe sekarang intinya pun masih jadi bahan pikiran. Bunuh aja bunuh..




Tadinya sih mau upload foto tumpukan buku, tapi males mindahin dari hape.
Yang ini kayaknya lebih 'touchy' *alibi*





Well yah, mari kita kembali pada pelukan buku-buku dan catatan-catatan cantik ini. Semoga setidaknya masih ada kesempatan tidur malam ini.
Selamat malam, semoga yang sakit bisa cepat sembuh. Selamat tidur.

Wednesday, November 14, 2012

Aku Ingin Melukis Langit

Aku ingin melukis langit
Biarlah tidak dengan kuas, biarlah bukan dengan tinta atau cat berwarna.
Aku ingin menembus batas yang terbentang
Ingin menyempitkan jarak, ingin menarik sosokmu
Ingin menyampaikan kata dan nada melalui gelapnya kanvas langit

Mungkin tidak semegah milik Da Vinci
dan tidak secantik Monalisa pula
Toh aku hanya ingin lukisan ini tersampaikan,
Pada sosok kelam yang tabirnya begitu sulit ku sibak
Pada bayangan semu dibawah terangnya rembulan

Aku ingin melukis langit
Dan berharap kau menengadahkan kepala, lalu menyadarinya

I Love(d) You Part II -end-

"Aku cuma mau minta maaf. Mungkin waktu kita putus aku ga sempat ngomong panjang lebar. Aku emosi banget waktu itu", ucap Iqbal tanpa sedikitpun ingin melepas lengan Fira dari genggamannya. Ia ingin bicara baik-baik. Ia rindu bicara baik-baik dengan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.

"Gue tau, tapi.."

"Bisa nggak sih kamu nggak usah pake lo-gue sama aku?", sela Iqbal dengan nada suara yang sedikit meninggi. Ia benci seolah-olah Fira menganggapnya bukan siapa-siapa. Yah, memang ia bukan kekasihnya lagi tapi otak dan hatinya belum bisa menerima perubahan sedrastis itu. Tidak, dia tidak siap menerimanya.

Fira tersentak. Baru kali ini Iqbal berbicara dengan nada setinggi itu, nyaris membentak. Ia sangat tidak suka dibentak, oleh siapapun. Sontak saja ia mengibaskan tangan yang masih digenggam Iqbal.

"Emangnya kenapa? Lo gak suka? Gue juga ga suka lo bentak-bentak gue!", bentak Fira tak kalah kerasnya. Sungguh ia tidak terbiasa seperti ini. Ia tidak pernah membentak orang lain jika tidak benar-benar marah. Tapi ucapan Iqbal, nada bicaranya, tatapan matanya, dan cengkraman tangannya yang berubah menyakitkan menggerakkan bibirnya untuk membalas dengan sentakan pula. Kemudian tanpa disadarinya ia sudah berjalan cepat, meninggalkan Iqbal yang masih terpaku atas perlakuan yang baru saja diterimanya. Ia tidak bermaksud begitu. Sungguh, Iqbal tidak bermaksud membentak. Ia hanya...hanya...Ah! Ia benci merasa frustasi seperti ini. 

Hari berganti bulan, lalu berganti tahun. Malam ini adalah pesta perpisahan sekolah mereka. Sejak pertengkaran singkat dibawah pohon rindang itu, Iqbal sama sekali tidak punya nyali menyapa Fira. Ia takut. Ia takut akan mengeluarkan kata-kata yang hanya akan menyakiti hari perempuan itu lagi. Ia takut ia akan merubah Fira menjadi sosok yang jauh lebih dingin. Karena itu ia hanya bisa memandangi Fira dari jauh, menjaga dan mengawasinya dari sudut yang tak terlihat, karena hanya dengan cara itu ia masih bisa melihat Fira tersenyum walau bukan untuknya. Karena jika berhadapan dengannya, Fira seketika akan berubah menjadi sosok yang ia tidak kenal, melemparkan sorot mata tajam dan sinis.

"Fira? Ini lo kan?", Fira merasa satu tangan menarik lengannya. Saat itu ia sedang celingukan bingung ingin melakukan apa. Semua orang berdansa dan tertawa, atau sekedar menyesap minuman dan menikmati makanan kecil sambil bercengkrama dengan teman atau pasangan. Sementara ia hanya bisa berdiri di sudut ruangan yang melihat pemandangan sekitar.

Fira mengamati sosok itu dari balik topeng putihnya. Sosok yang juga kabur karena tertutup topeng hijau, lalu ia tersenyum, "Iya ini gue, di. Kok lo bisa ngenalin gue?", ujarnya agak sedikit heran. Sejak tadi tidak ada seorangpun yang mengenalinya dengan topeng ini, tidak juga teman-temannya yang sedari tadi berseliweran di hadapannya.

"Mau tau aja. Pesta topeng kayak beginian nggak ngaruh sama gue. Buktinya gue masih bisa nemuin lo", jawabnya sambil tertawa kecil lalu mengajak Fira ke tengah ruangan untuk berdansa.

"Lo tau gue sama sekali nggak berbakat sama yang beginian..", ujar Fira sedikit canggung mengatur posisi tangan dan kakinya. Mencoba berdansa dengan Aldi mungkin lebih baik daripada berdiri seperti orang bodoh di sudut ruangan.

"Lo tau nggak, mantan lo itu dapet beasiswa ke aussie", sela Aldi ditengah nada klasik yang mengalun. Fira menerawang, ia jelas tahu hal itu. Tanpa harus diberi tahu secara langsung, tanpa perlu bertanya pada yang bersangkutan, ia sudah cukup tahu dan menurutnya Iqbal pantas menerima beasiswa itu. Itu cita-citanya sejak dulu. Mimpinya.
Tanpa sadar pikirannya juga menerawang jauh, menariknya kembali pada saat mereka berbagi mimpi. Iqbal yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan Fira yang ingin menjadi guru di daerah perbatasan. Dua hal yang sangat bertolak belakang memang, tapi mereka membaginya dengan tawa. Setidaknya saat itu mereka bersama-sama membahas impian dengan gelak tawa. Ya, saat itu.
Bingung harus menjawab apa dengan lidah kelu, Fira lebih memilih mengangkat ujung bibirnya.

Hari sudah lewat tengah malam. Gaun tanpa lengan yang dipakainya membuat Fira menyilangkan tangan di dada, kedinginan. Kakaknya belum juga datang menjemput. Agak menyesal juga dia menolak tawaran Aldi untuk mengantarnya tadi. Dia merasa tidak enak kalau harus terus-menerus menerima bantuan dari Aldi. Ia tahu sahabatnya itu menyukainya, sangat tahu, tapi ia tidak rela jika harus menukar persahabatannya itu dengan cerita baru yang belum tentu bertahan sampai akhir.

"Kamu belom pulang?", suara kecil Iqbal mengagetkannya. Ia menggeleng, lalu kembali diam. Menatap laki-laki itupun ia tidak berani, padahal malam ini Iqbal sangat berbeda dari biasanya. Jasnya mungkin sama seperti teman-teman Fira, tapi auranya berbeda. Entahlah, mungkin karena Iqbal terlihat lebih dewasa.

Sadar tidak mungkin mendapat respon, Iqbal melanjutkan perkataannya dengan pandangan lurus ke langit, "Mungkin ini terakhir kali aku bisa bicara sama kamu, jadi aku mau bicara baik-baik. Aku minta maaf untuk semua kesalahan aku selama ini yang secara sengaja atau nggak udah nyakitin kamu. Aku berterima kasih untuk apapun yang sudah kita jalani selama ini, untuk apapun yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia dengan apapun yang kamu jalani selanjutnya. Aku selalu berharap yang terbaik dalam hidup kamu".
Setelah itu tanpa menoleh, ia melangkah pergi.


....


"Kamu sudah makan? Gimana keadaan disana?", terdengar nada cemas dari seberang telepon. Iqbal tersenyum geli. Mamanya selalu saja seperti ini semenjak ia pindah ke Australia untuk melanjutkan studi. Tidak peduli waktu setempat sudah menunjukkan beberapa menit sebelum tengah malam seperti ini, ibunya itu tetap saja menasehatinya seperti anak kecil. Bahwa ia harus makan tepat waktu, harus tidur cukup, dan tidak boleh membuang waktu dan uang, dan bahwa ia harus cepat kembali.

"Ma...aku baru setengah tahun disini, belum juga hapal jalan udah disuruh pulang", cecarnya sambil tertawa kecil. Ia mulai menyukai kehidupannya disini. Sendiri tanpa kerabat membuatnya lebih mandiri.

Iqbal baru bisa tidur setelah membujuk ibunya untuk segera tidur. Sepertinya ibunya itu begitu rindu, hingga terkadang terdengar isak tangis disela ocehannya, membuat ia merasa ingin kembali pulang lalu memeluk ayah dan ibunya. Namun perjuangannya disini untuk membanggakan mereka belum apa-apa, belum seberapa. Cepat-cepat disingkirkannya pikiran itu.
Mata yang hampir terpejam. Ponsel bergetar. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal.


Aku sekarang jadi guru di perbatasan Kalimantan Selatan.
Aku tunggu kamu pulang liburan.
Aku tunggu kamu disini.
Selamat malam, selamat ulang tahun.

-Fira-

Saturday, November 3, 2012

Acquisence

Siang yang sepi. Aku suka kesunyian. Tapi berbagai suara di pikiranku merusak semuanya. Ia berseliweran tanpa henti menggaungkan kata-kata yang sama. Sebegitu menusuknya sampai yang bisa kurasakan hanya sakit dan otakku tidak bisa berpikir. Sebegitu tidak bisa berpikirnya sampai kubiarkan saja tetes demi tetes bening itu keluar begitu saja dari kelopak mata sampai membasahi kaus.

Aku lelah mencoba merelakan. Kenapa kita harus merelakan? Apa sesuatu itu sebegitu tidak pantas digenggam hingga harus dilepaskan? Tapi aku ingin merelakan. Karena mungkin jika berhasil, aku bisa menyebut namamu dengan lancar lalu bisa memandang fotomu dengan senyum. Aku bisa terbangun dengan memikirkan hal lain, bukan dirimu. Aku bisa memimpikan yang lain, bukan sosokmu. Kau kira aku tidak pernah mencoba merelakan? Aku sudah bosan melakukannya. Tapi semakin aku mencoba membuang sosokmu jauh-jauh, bayangan itu malah mengejar. Seolah menarik supaya aku terjatuh dan tidak bisa berdiri. Padahal aku sudah lelah mencoba bangkit. Padahal aku sudah lelah menangis. 

Aku ingin bisa merelakan. Seperti kau yang dengan mudahnya berkata bahwa kita tidak bisa bersama, bahwa tidak akan ada lagi 'kita'. Sementara kau sudah pergi, melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan.