Siang yang sepi. Aku suka kesunyian. Tapi berbagai suara di pikiranku merusak semuanya. Ia berseliweran tanpa henti menggaungkan kata-kata yang sama. Sebegitu menusuknya sampai yang bisa kurasakan hanya sakit dan otakku tidak bisa berpikir. Sebegitu tidak bisa berpikirnya sampai kubiarkan saja tetes demi tetes bening itu keluar begitu saja dari kelopak mata sampai membasahi kaus.
Aku lelah mencoba merelakan. Kenapa kita harus merelakan? Apa sesuatu itu sebegitu tidak pantas digenggam hingga harus dilepaskan? Tapi aku ingin merelakan. Karena mungkin jika berhasil, aku bisa menyebut namamu dengan lancar lalu bisa memandang fotomu dengan senyum. Aku bisa terbangun dengan memikirkan hal lain, bukan dirimu. Aku bisa memimpikan yang lain, bukan sosokmu. Kau kira aku tidak pernah mencoba merelakan? Aku sudah bosan melakukannya. Tapi semakin aku mencoba membuang sosokmu jauh-jauh, bayangan itu malah mengejar. Seolah menarik supaya aku terjatuh dan tidak bisa berdiri. Padahal aku sudah lelah mencoba bangkit. Padahal aku sudah lelah menangis.
Aku ingin bisa merelakan. Seperti kau yang dengan mudahnya berkata bahwa kita tidak bisa bersama, bahwa tidak akan ada lagi 'kita'. Sementara kau sudah pergi, melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan.
No comments:
Post a Comment