"Aku cuma mau minta maaf. Mungkin waktu kita putus aku ga sempat ngomong panjang lebar. Aku emosi banget waktu itu", ucap Iqbal tanpa sedikitpun ingin melepas lengan Fira dari genggamannya. Ia ingin bicara baik-baik. Ia rindu bicara baik-baik dengan perempuan yang ada dihadapannya saat ini.
"Gue tau, tapi.."
"Bisa nggak sih kamu nggak usah pake lo-gue sama aku?", sela Iqbal dengan nada suara yang sedikit meninggi. Ia benci seolah-olah Fira menganggapnya bukan siapa-siapa. Yah, memang ia bukan kekasihnya lagi tapi otak dan hatinya belum bisa menerima perubahan sedrastis itu. Tidak, dia tidak siap menerimanya.
Fira tersentak. Baru kali ini Iqbal berbicara dengan nada setinggi itu, nyaris membentak. Ia sangat tidak suka dibentak, oleh siapapun. Sontak saja ia mengibaskan tangan yang masih digenggam Iqbal.
"Emangnya kenapa? Lo gak suka? Gue juga ga suka lo bentak-bentak gue!", bentak Fira tak kalah kerasnya. Sungguh ia tidak terbiasa seperti ini. Ia tidak pernah membentak orang lain jika tidak benar-benar marah. Tapi ucapan Iqbal, nada bicaranya, tatapan matanya, dan cengkraman tangannya yang berubah menyakitkan menggerakkan bibirnya untuk membalas dengan sentakan pula. Kemudian tanpa disadarinya ia sudah berjalan cepat, meninggalkan Iqbal yang masih terpaku atas perlakuan yang baru saja diterimanya. Ia tidak bermaksud begitu. Sungguh, Iqbal tidak bermaksud membentak. Ia hanya...hanya...Ah! Ia benci merasa frustasi seperti ini.
Hari berganti bulan, lalu berganti tahun. Malam ini adalah pesta perpisahan sekolah mereka. Sejak pertengkaran singkat dibawah pohon rindang itu, Iqbal sama sekali tidak punya nyali menyapa Fira. Ia takut. Ia takut akan mengeluarkan kata-kata yang hanya akan menyakiti hari perempuan itu lagi. Ia takut ia akan merubah Fira menjadi sosok yang jauh lebih dingin. Karena itu ia hanya bisa memandangi Fira dari jauh, menjaga dan mengawasinya dari sudut yang tak terlihat, karena hanya dengan cara itu ia masih bisa melihat Fira tersenyum walau bukan untuknya. Karena jika berhadapan dengannya, Fira seketika akan berubah menjadi sosok yang ia tidak kenal, melemparkan sorot mata tajam dan sinis.
"Fira? Ini lo kan?", Fira merasa satu tangan menarik lengannya. Saat itu ia sedang celingukan bingung ingin melakukan apa. Semua orang berdansa dan tertawa, atau sekedar menyesap minuman dan menikmati makanan kecil sambil bercengkrama dengan teman atau pasangan. Sementara ia hanya bisa berdiri di sudut ruangan yang melihat pemandangan sekitar.
Fira mengamati sosok itu dari balik topeng putihnya. Sosok yang juga kabur karena tertutup topeng hijau, lalu ia tersenyum, "Iya ini gue, di. Kok lo bisa ngenalin gue?", ujarnya agak sedikit heran. Sejak tadi tidak ada seorangpun yang mengenalinya dengan topeng ini, tidak juga teman-temannya yang sedari tadi berseliweran di hadapannya.
"Mau tau aja. Pesta topeng kayak beginian nggak ngaruh sama gue. Buktinya gue masih bisa nemuin lo", jawabnya sambil tertawa kecil lalu mengajak Fira ke tengah ruangan untuk berdansa.
"Lo tau gue sama sekali nggak berbakat sama yang beginian..", ujar Fira sedikit canggung mengatur posisi tangan dan kakinya. Mencoba berdansa dengan Aldi mungkin lebih baik daripada berdiri seperti orang bodoh di sudut ruangan.
"Lo tau nggak, mantan lo itu dapet beasiswa ke aussie", sela Aldi ditengah nada klasik yang mengalun. Fira menerawang, ia jelas tahu hal itu. Tanpa harus diberi tahu secara langsung, tanpa perlu bertanya pada yang bersangkutan, ia sudah cukup tahu dan menurutnya Iqbal pantas menerima beasiswa itu. Itu cita-citanya sejak dulu. Mimpinya.
Tanpa sadar pikirannya juga menerawang jauh, menariknya kembali pada saat mereka berbagi mimpi. Iqbal yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan Fira yang ingin menjadi guru di daerah perbatasan. Dua hal yang sangat bertolak belakang memang, tapi mereka membaginya dengan tawa. Setidaknya saat itu mereka bersama-sama membahas impian dengan gelak tawa. Ya, saat itu.
Bingung harus menjawab apa dengan lidah kelu, Fira lebih memilih mengangkat ujung bibirnya.
Hari sudah lewat tengah malam. Gaun tanpa lengan yang dipakainya membuat Fira menyilangkan tangan di dada, kedinginan. Kakaknya belum juga datang menjemput. Agak menyesal juga dia menolak tawaran Aldi untuk mengantarnya tadi. Dia merasa tidak enak kalau harus terus-menerus menerima bantuan dari Aldi. Ia tahu sahabatnya itu menyukainya, sangat tahu, tapi ia tidak rela jika harus menukar persahabatannya itu dengan cerita baru yang belum tentu bertahan sampai akhir.
"Kamu belom pulang?", suara kecil Iqbal mengagetkannya. Ia menggeleng, lalu kembali diam. Menatap laki-laki itupun ia tidak berani, padahal malam ini Iqbal sangat berbeda dari biasanya. Jasnya mungkin sama seperti teman-teman Fira, tapi auranya berbeda. Entahlah, mungkin karena Iqbal terlihat lebih dewasa.
Sadar tidak mungkin mendapat respon, Iqbal melanjutkan perkataannya dengan pandangan lurus ke langit, "Mungkin ini terakhir kali aku bisa bicara sama kamu, jadi aku mau bicara baik-baik. Aku minta maaf untuk semua kesalahan aku selama ini yang secara sengaja atau nggak udah nyakitin kamu. Aku berterima kasih untuk apapun yang sudah kita jalani selama ini, untuk apapun yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia dengan apapun yang kamu jalani selanjutnya. Aku selalu berharap yang terbaik dalam hidup kamu".
Setelah itu tanpa menoleh, ia melangkah pergi.
....
"Kamu sudah makan? Gimana keadaan disana?", terdengar nada cemas dari seberang telepon. Iqbal tersenyum geli. Mamanya selalu saja seperti ini semenjak ia pindah ke Australia untuk melanjutkan studi. Tidak peduli waktu setempat sudah menunjukkan beberapa menit sebelum tengah malam seperti ini, ibunya itu tetap saja menasehatinya seperti anak kecil. Bahwa ia harus makan tepat waktu, harus tidur cukup, dan tidak boleh membuang waktu dan uang, dan bahwa ia harus cepat kembali.
"Ma...aku baru setengah tahun disini, belum juga hapal jalan udah disuruh pulang", cecarnya sambil tertawa kecil. Ia mulai menyukai kehidupannya disini. Sendiri tanpa kerabat membuatnya lebih mandiri.
Iqbal baru bisa tidur setelah membujuk ibunya untuk segera tidur. Sepertinya ibunya itu begitu rindu, hingga terkadang terdengar isak tangis disela ocehannya, membuat ia merasa ingin kembali pulang lalu memeluk ayah dan ibunya. Namun perjuangannya disini untuk membanggakan mereka belum apa-apa, belum seberapa. Cepat-cepat disingkirkannya pikiran itu.
Mata yang hampir terpejam. Ponsel bergetar. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal.
"Lo tau nggak, mantan lo itu dapet beasiswa ke aussie", sela Aldi ditengah nada klasik yang mengalun. Fira menerawang, ia jelas tahu hal itu. Tanpa harus diberi tahu secara langsung, tanpa perlu bertanya pada yang bersangkutan, ia sudah cukup tahu dan menurutnya Iqbal pantas menerima beasiswa itu. Itu cita-citanya sejak dulu. Mimpinya.
Tanpa sadar pikirannya juga menerawang jauh, menariknya kembali pada saat mereka berbagi mimpi. Iqbal yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri dan Fira yang ingin menjadi guru di daerah perbatasan. Dua hal yang sangat bertolak belakang memang, tapi mereka membaginya dengan tawa. Setidaknya saat itu mereka bersama-sama membahas impian dengan gelak tawa. Ya, saat itu.
Bingung harus menjawab apa dengan lidah kelu, Fira lebih memilih mengangkat ujung bibirnya.
Hari sudah lewat tengah malam. Gaun tanpa lengan yang dipakainya membuat Fira menyilangkan tangan di dada, kedinginan. Kakaknya belum juga datang menjemput. Agak menyesal juga dia menolak tawaran Aldi untuk mengantarnya tadi. Dia merasa tidak enak kalau harus terus-menerus menerima bantuan dari Aldi. Ia tahu sahabatnya itu menyukainya, sangat tahu, tapi ia tidak rela jika harus menukar persahabatannya itu dengan cerita baru yang belum tentu bertahan sampai akhir.
"Kamu belom pulang?", suara kecil Iqbal mengagetkannya. Ia menggeleng, lalu kembali diam. Menatap laki-laki itupun ia tidak berani, padahal malam ini Iqbal sangat berbeda dari biasanya. Jasnya mungkin sama seperti teman-teman Fira, tapi auranya berbeda. Entahlah, mungkin karena Iqbal terlihat lebih dewasa.
Sadar tidak mungkin mendapat respon, Iqbal melanjutkan perkataannya dengan pandangan lurus ke langit, "Mungkin ini terakhir kali aku bisa bicara sama kamu, jadi aku mau bicara baik-baik. Aku minta maaf untuk semua kesalahan aku selama ini yang secara sengaja atau nggak udah nyakitin kamu. Aku berterima kasih untuk apapun yang sudah kita jalani selama ini, untuk apapun yang kamu kasih buat aku. Semoga kamu bahagia dengan apapun yang kamu jalani selanjutnya. Aku selalu berharap yang terbaik dalam hidup kamu".
Setelah itu tanpa menoleh, ia melangkah pergi.
....
"Kamu sudah makan? Gimana keadaan disana?", terdengar nada cemas dari seberang telepon. Iqbal tersenyum geli. Mamanya selalu saja seperti ini semenjak ia pindah ke Australia untuk melanjutkan studi. Tidak peduli waktu setempat sudah menunjukkan beberapa menit sebelum tengah malam seperti ini, ibunya itu tetap saja menasehatinya seperti anak kecil. Bahwa ia harus makan tepat waktu, harus tidur cukup, dan tidak boleh membuang waktu dan uang, dan bahwa ia harus cepat kembali.
"Ma...aku baru setengah tahun disini, belum juga hapal jalan udah disuruh pulang", cecarnya sambil tertawa kecil. Ia mulai menyukai kehidupannya disini. Sendiri tanpa kerabat membuatnya lebih mandiri.
Iqbal baru bisa tidur setelah membujuk ibunya untuk segera tidur. Sepertinya ibunya itu begitu rindu, hingga terkadang terdengar isak tangis disela ocehannya, membuat ia merasa ingin kembali pulang lalu memeluk ayah dan ibunya. Namun perjuangannya disini untuk membanggakan mereka belum apa-apa, belum seberapa. Cepat-cepat disingkirkannya pikiran itu.
Mata yang hampir terpejam. Ponsel bergetar. Dari sebuah nomor yang tidak dikenal.
Aku sekarang jadi guru di perbatasan Kalimantan Selatan.
Aku tunggu kamu pulang liburan.
Aku tunggu kamu disini.
Selamat malam, selamat ulang tahun.
-Fira-
No comments:
Post a Comment