Masih ingatkah kau bahwa kita pernah
mengecap putih abu-abu?
Masih ingatkah kau bahwa kita pernah menjadi "putih" dan "abu-abu"?
Masih ingatkah kau bahwa kita pernah menjadi "putih" dan "abu-abu"?
Ku pandangi ingar bingar yang masih
terpatri sejak tadi. Hidup, nyata, memberikan rasa hangat yang mengaliri
celah-celah hati. Hari ini upacara kelulusan sekolah. Wajah-wajah bahagia
membanjiri aula sekolah kala kami dinyatakan lulus 100%. Ada yang berteriak,
tertawa kegirangan, saling memeluk satu sama lain. Semua mata memancarkan
keharuan sebagai wujud rasa lega penantian yang rasanya sudah berjalan begitu
lama. Para pahlawan tanpa tanda jasa kami sudah berbaris untuk menerima salam
terakhir, salam yang akan menghantarkan kami pada jenjang yang bukan hanya lebih
tinggi dari ini, namun juga jenjang yang akan lebih mengajarkan bagaimana kerasnya
hidup.
“Kamu
harus wujudkan cita-cita kamu ya, Citra.” suara Bu Lina lirih saat keningku
menyentuh punggung tangannya. Sambil mengangguk kuselipkan setangkai bunga
mawar putih di sela jemarinya.
“Citra
mohon doanya, Bu.” Sahutku tak kalah pelan. Hanya itu yang sanggup ku ucapkan
diantara beragam kalimat perpisahan yang telah kusiapkan sebelumnya.
Ketika
semua sibuk saling menorehkan coretan di seragam masing-masing, ku pandangi
lekat-lekat tiap sudut sekolah yang terjangkau mata. Betapa akan kurindukan
semua sosok yang biasa ku temui selama tiga tahun berada disini. Betapa akan
ada begitu banyak kenangan yang tertinggal di tiap jengkal aku melangkahkan
kaki. Kenangan yang akan selelu ku bawa bentuk abstraknya, namun tidak akan
bisa terulang.
“Citra,
gue tanda tangan di seragam lo ya!” kubiarkan saja beberapa teman menggoreskan
tanda tangan dan semprotan pilox diatas
seragamku yang masih bersih. Pandanganku jatuh pada salah satu bangku taman di
bawah pohon rindang. Disana tempatku biasa menghabiskan waktu sebelum jam
pelajaran tambahan dimulai. Membaca buku, mendengarkan musik, bermain gitar,
atau hanya sekedar mengobrol santai. Lalu mataku berhenti pada lapangan basket
yang basah karena hujan yang baru saja reda. Masih teringat jelas gemericik air
yang beradu dengan suara pantulan bola basket dikala jam pelajaran olahraga.
Lalu aku menggeleng pelan. Tidak. Jika diteruskan, akan ada lebih banyak
kenangan lagi yang membludak dan mengajak untuk dibawa pulang.
Tiba-tiba
aku tersadar dari lamunan saat sesosok anak laki-laki dengan seragam yang sudah
penuh coretan warna warni datang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Selamat
ya, Citra. Pasti lo seneng banget bisa keterima di universitas dan jurusan yang
lo suka tanpa perlu ikut tes seleksi masuk.”
Sontak
bibir dan mataku membentuk lengkungan senyum. “Apaan sih lo, sok formal tauk!
Kita sahabatan udah lama gak usah pake salam-salaman segala lagi.” ku bubuhkan
tanda tangan di kerah bajunya, satu-satunya celah yang masih kosong. Refleks
otakku merekam senyumnya sekali lagi. Mata, hidung, keseluruhan wajah dan
posturnya kusimpan rapi bersama semua kenangan yang ada di setiap sudut
sekolah. Saat bermain basket bersama, mendengarkan musik dengan dua ujung earphone dibagi menjadi dua, bernyanyi
sambil bermain gitar, atau bercanda sembari mengunyah bekal. Semuanya begitu
berharga, sayang untuk dilupakan. Tapi aku sudah bertekad untuk meninggalkan
semuanya seiring langkah kaki menuju gerbang sekolah. Berikut bersama perasaan
yang sudah susah payah disimpan bertahun-tahun lamanya.
Untuk
terakhir kalinya, kuperhatikan lagi seragam putih abu-abu yang masih melekat di
badan. Walaupun tidak lagi utuh berwarna putih bersih, tapi masih ku ingat
bagaimana seragam ini menemani masa-masa sekolah. Masa dimana kita semua masih
putih, masih naif. Masa dimana kesalahan masih bisa ditoleransi karena kita
masih bisa disebut remaja. Masa yang memberikan begitu banyak pelajaran. Putih
abu-abu. Bagaimana sikap dan perbuatan kita dulunya begitu abu-abu. Tidak
gelap, tidak juga terang. Pendirian masih terus berubah-ubah. Abu-abu adalah
satu fase menuju warna yang lebih tetap, lebih pasti dan jelas. Aku tersenyum
sembari memejamkan mata. Ah, putih abu-abu ku begitu sempurna.
No comments:
Post a Comment