Aku benci ayah.
Bukan, aku bukan anak yang berasal dari orangtua yang bercerai atau anak yang lahir dari ayah yang cacat seperti kebanyakan cerita di sinetron. Aku benci ayah karena ia tidak pernah bisa membahagiakan kami. Sebelumnya hidup kami tidak terlalu melarat sampai perlu berhutang ke warung hanya untuk mendapat beras. Sebelumnya kebutuhan pokok kami setidaknya selalu bisa terpenuhi walaupun ponselku tidak pernah berganti selama bertahun-tahun. Sebelumnya iuran sekolahku selalu bisa dilunasi setiap bulannya tanpa perlu menunggak. Tapi itu sebelumnya. Sebelum ayah mengacaukan semuanya.
Ayah bukanlah pegawai kantoran yang punya upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Walaupun juga bekerja di kantor, posisi ayah tidak lebih dari orang yang selalu membersihkan toilet atau menyediakan kopi dan teh bagi para karyawan setiap harinya. Ayah selalu berangkat pagi buta dan pulang larut malam hanya untuk memastikan bahwa seluruh lantai kantor sudah disapu agar terlihat bersih keesokan harinya. Ayah cuma seorang officeboy.
Aku tidak pernah bangga akan pekerjaan ayah. Kalau saja tidak ada ibu yang mengelola warung bakso kecil-kecilan milik keluarga kami, penghasilan bulanan ayah tentu saja tidak cukup untuk memenuhi setidaknya separuh dari kebutuhan kami. Terkadang hatiku terenyuh melihat bagaimana letihnya raut wajah ibu yang menyiapkan dagangan di tengah malam. Ibu tidak pernah memperbolehkanku ikut membantu. Anak laki-laki tertua yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hanya berkewajiban menuntut ilmu sebagai bekal untuk mendapat pekerjaan nantinya, begitu kata ibu. Kedua adik perempuanku masih kecil dan yang satu terpaksa terlambat masuk sekolah karena tabungan ibu belum cukup untuk membayar uang pembangunan Sekolah Dasar yang cukup besar.
Lalu dimana peran ayah? Ayah selalu diam saat aku mengeluh pada ibu bahwa seragamku mulai lusuh. Ayah hanya memalingkan wajah waktu adikku merengek minta dibelikan sepatu baru. Ayah cuma bisa termenung saat rembesan air hujan menembus atap rumah kami yang sudah reyot. Ayah tidak pernah berbuat apa-apa. Bahkan ia hanya menatap kosong saat kehilangan pekerjaan satu-satunya.
Aku tahu dengan aku membenci ayah, Tuhan juga tidak akan senang. Malaikat di sebelah kiri pundakku akan mencatat amal buruk setiap kali aku mencibir tentang ayah. Dosaku akan kian menumpuk setiap kali menyalahkan ayah akan kehidupan kami yang kian memburuk saja. Terlebih lagi saat kulihat telapak tangan ayah melayang ke wajah ibu hingga menyisakan bekas merah yang menyakitkan, anggaplah aku anak durhaka, tapi rasanya aku ingin melakukan hal yang sama terhadap ayah. Lalu apa pedulinya jika aku pulang larut malam dalam keadaan mabuk? Toh aku tidak pernah meminta uang padanya. Lalu seiring dengan saling beradunya argumen, makian tidak henti-hentinya keluar dari mulutku. Tentang ayah yang tidak berguna, tentang ayah yang tidak bertanggung jawab, dan tentang ayah yang tidak bisa membahagiakan kami. Kuteriakkan semua isi hatiku yang selama ini hanya membuncah di benak saja. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Hingga pada akhirnya adu mulut ini berakhir dengan tubuhku yang lebam-lebam bekas hantaman sapu ijuk yang melayang dari lengan ayah, aku berdiri dengan sisa-sisa tenaga lalu tanpa menoleh pergi begitu saja melewati pintu rumah. Aku sudah sangat muak dan ingin pergi kemana saja asalkan tidak melihat wajah ayah. Ku langkahkan kakiku jauh dari rumah, tidak mempedulikan suara teriakan ibu yang membujukku kembali. Aku sudah terlalu benci ayah.
Berminggu-minggu aku tidak pulang. Meninggalkan sekolah, meninggalkan ibu dan adik-adik. Aku tidur dijalanan, mengobati rasa lapar dengan mengamen seadanya bermodalkan tepukan tangan. Serikali kudengar kabar dari teman-teman yang tidak sengaja bertemu di lampu merah bahwa ayah setiap hari mencari-cari keberadaanku. Ya, ayah yang ku benci setengah mati justru malah menjadi yang paling peduli. Tapi bukannya kembali pulang, aku malah melangkahkan kaki makin jauh dari rumah. Aku tidak mengerti sudah sejauh mana kedurhakaanku ini. Sudah sebenci inikah aku pada ayah? Entahlah, mungkin mataku yang terlalu buta untuk melihat sisi baik ayah, atau kepalaku yang terlalu batu untuk mengerti bahwa mungkin ayah akan membahagiakan kami dengan caranya sendiri.
"Woi! Lo denger gak sih? Masa cuma segini setoran lo hari ini?!"
Pukulan bertubi-tubi dari beberapa preman menghilangkan kesadaranku. Pikiranku melayang pada sosok ayah. Tidak seharusnya aku membenci ayah. Ayah sudah berusaha sekuat tenaga agar bisa membahagiakan kami. Jika ia kehilangan pekerjaan, tidak seharusnya pula aku mengutuknya tidak berguna. Tidak seharusnya aku melontarkan kata-kata kasar dan tatapan tajam. Walau bagaimanapun, dari ayahlah aku belajar untuk menyayangi ibu. Dari ayah juga aku bisa hidup.
Gelap. Sekujur tubuhku terasa sakit. Hanya tinggal terasa satu lengan yang menopang punggungku.
"Dani! Jawab ayah, Nak! Kamu ngga apa-apa kan?!"
Ayah? Itu suara ayah?
Tuhan, semoga aku tidak terlambat untuk bersujud dan mengucap maaf pada ayah.
No comments:
Post a Comment