“Kamu
sudah makan?”
“Sudah.
Kamu?”
“Sudah
sebelum jemput kamu kesini. Mau kemana kita?”
“Bukannya
kita tidak pernah berencana tiap kali akan pergi bersama?”
“Tapi
aku yang menyetir, Sayang. Lalu akan dikemanakan mobil ini?”
“Berhenti
memanggilku dengan sebutan itu. Kamu bukan pacarku”
Ada
senyum simpul yang mengembang di bibir laki-laki itu saat aku mengucapkan
kalimat barusan. Aku hanya memalingkan wajah sembari tertawa tanpa suara. Kami
selalu seperti ini. Mendeklarasikan diri tidak sebagai sepasang kekasih.
Memang, kami bukan sepasang kekasih. Kami hanya dua orang yang saling terjebak
dalam zona berteman yang kami ciptakan sendiri. Tapi apa ada dua orang berteman
yang menyebut diri mereka sebagai “kami”? Bukan Aku dan Dia? Entahlah. Entah
siapa yang memulai terlebih dahulu. Kami merasa nyaman berada di pusaran yang
sama tanpa satu pun ingin melepaskan diri.
“Tadi
sebelum aku kesini.....”
Ia
mulai bercerita. Aku akan dengan sendirinya memutar kepala ke arah kanan meskipun
aku tahu ia takkan melakukan hal yang sama melihat ke kursi penumpang di
sebelah karena fokus dengan jalanan di depan. Ia hanya akan sesekali menoleh
beberapa detik, tersenyum atau tertawa, lalu akan bertanya mengapa aku
memandanginya seperti itu. Konyol bukan? Aku hapal mati urutan kejadian yang
biasa terjadi diantara kami.
“Kamu
kenapa sih ngelamun gitu? Galau?”, oloknya sambil tersenyum memperlihatkan
deretan gigi.
“Aku
cuma bingung akan kemana kita”
“Astaga!”,
serunya sembari menepuk dahi. Ia lalu tertawa renyah menertawakan kebodohannya
yang belum mengaktifkan aplikasi peta di ponsel. Ia dan aku sama-sama tidak
mengenal daerah ini. Kota ini. Kota yang meskipun lalu lintasnya salah satu
yang terpadat di dunia, tapi masih terlalu asing bagiku yang baru saja
menjadikannya tempat menuntut ilmu sementara waktu. Seperti biasanya ia akan
menyetir lalu aku akan membaca peta –tidak benar-benar membaca karena sesekali
kuperlihatkan rute perjalanan ini padanya, aku tidak pandai membaca peta-, lalu
hari kami akan berjalan cepat seperti biasanya. Matahari akan begitu egois
ingin berganti tugas dengan bulan, membiarkan kami meratapi mengapa begitu
cepat malam datang. Saat berjalan beriringan, kami akan bercerita mengenai apa
saja. Lalu kami akan berbagi senyum dan tawa. Entah apa yang dirasakannya, tapi
menurutku saat-saat berbagi rindu seperti ini sangat menyenangkan. Aku tidak
bisa melihatnya setiap hari, begitupun dia. Kami tidak terpisah jarak yang
terlampau jauh, tapi kami tidak bisa menemui satu sama lain setiap harinya. Aneh,
bukan? Tapi itu yang membuat setiap pertemuan terasa berkesan. Kenyataan bahwa
kami tidak akan bertatap muka langsung setiap harinya membuat kami menghargai
setiap detik dari pertemuan.
Saat
duduk berdampingan lagi di jalan pulang, kami akan diam. Mengunci bibir dengan
ekpresi wajah datar agar satu sama lain tidak tahu jika sebenarnya kami tidak
ingin pertemuan hari ini berakhir. Saat puluhan mobil berjalan merambat di lalu
lintas yang padat, tangan kirinya akan menggenggam jemariku. Bukan genggaman
yang kuat, namun jenis genggaman yang didalamnya terdapat banyak kata yang
tidak tersampaikan.
“Kamu
hati-hati ya. Jangan melamun kalau sedang menyetir. Beritahu aku kalau sudah
sampai di rumah”, ucapku lirih ditelan suara penyiar radio. Ucapan selamat
tinggal yang begitu ku benci tapi harus ku ucapkan juga.
“Bisa
tidak ya waktu dihentikan?”, ujarnya pelan.
“If
you could do that, would you?”. Aku balik bertanya.
Saat
mobil ini berhenti di tempatku tinggal, kami akan bertatapan sesaat. Lalu aku
akan menyesali begitu banyak kata yang tidak bisa ku ucapkan selama beberapa
jam bersamanya tadi. Entah mengapa lidahku kelu saat bersamanya hingga begitu
sulit hanya untuk sekedar berkata ‘rindu’ atau ‘butuh’. Kemudian
bisikan-bisikan kecil kembali menelusup ke sela-sela otakku mengatakan bahwa
tidak seharusnya aku merasa begini. Tidak seharusnya aku merasa rindu berlebihan
pada seorang teman. Tidak seharusnya aku menatap kosong pada dirinya yang
semakin menjauh dan jarak yang semakin
merentang luas diantara kami. Dia itu temanku. Sekat antara kami sangat tipis
hingga orang lain terkadang salah sangka dan harus melihat lebih dekat bahwa
kami sebenarnya tidak lebih dari dua orang yang sering menghabiskan waktu
bersama tanpa ikatan apa-apa.
“Are
you guys in a relationship?”. Begitulah kira-kira yang selalu dipertanyakan
orang-orang ketika melihat kebersamaan kami. Terkadang aku pun heran, apa
salahnya jika temanku ini tahu benar kebiasaanku dan aku pun hapal makanan
kesukaannya. Apa yang salah dari teman yang setiap harinya mengucapkan selamat
pagi dan tidak lupa mengingatkan makan? Tapi aku mengerti benar, jika kami
punya cukup keberanian, tidak sulit untuk membuat hubungan ini “berbentuk”. Lalu
jika diberondong pertanyaan demikian, dia hanya akan tertawa jahil dan aku
hanya akan menjawab, “Not that kind of relationship.” Tapi tidak satupun
diantara kami berniat mendeklarasikan Ya atau Tidak, karena kami memang berdiri
di tengah-tengah sekat pembatas yang jelas, namun tidak kasat mata.