Dia sangat cantik.
Di depan mataku dia
terlihat begitu cantik bahkan ketika sedang mengunyah dengan mulut penuh
seperti itu. Kesederhanaannya yang membuatku jatuh cinta. Pemandangan di
depanku ini seketika mengingatkanku pada momen pertama kali kami bertemu. Ya,
disini. Saat itu aku, laki-laki yang perfeksionis sedang menggerutu sambil
terus mengelap kemeja licinku yang tidak sengaja ditumpahi jus tomat. Bagaimana
tidak, sebentar lagi aku harus menghadiri meeting
penting bersama para investor. Yah walaupun aku dengan mudah bisa meminta
sekretarisku untuk mengambil kemeja cadangan yang berada di lemari kantor, tapi
tetap saja aku benci kecerobohan. Walaupun hal itu disebabkan oleh kekasihku
sendiri. Saat itu perempuan yang sedang berada di hadapanku ini masih berwujud
orang asing yang belum ku kenal. Ia duduk tepat di belakangku, sedang menikmati
makan siang bersama teman sekantornya. Masih tergambar jelas di otakku
bagaimana dia menertawai tingkah laku-ku yang menurutnya kekanak-kanakan dengan
menyalahkan kekasihku yang pada saat itu tidak sengaja menjatuhkan segelas jus
tomatnya.
“Laki-laki
kok repotnya melebihi perempuan..”, ujarnya di sela-sela tawa kecil. Aku ingat
pada saat itu langsung refleks memutar kepalaku, menatapnya lekat dengan sorot
mata yang tajamnya melebihi belati. Beraninya dia berbicara seperti itu. Saat
itu yang terpikir di benakku hanyalah bagaimana mungkin ada perempuan yang penampilannya
bisa berbanding terbalik dengan derajat kesopanannya. Dalam sekali pandang,
orang lain bisa melihat kalau perempuan ini memiliki paras yang bisa dikatakan
cantik dan penampilan yang modis. Namun aku bukanlah laki-laki yang bisa dengan
mudah terpikat pada penampilan luar. Aku suka perempuan yang memiliki tata
krama tinggi walau bukan berasal dari keluarga ningrat. Aku suka perempuan yang
anggun dengan menjaga tutur kata serta pembawaannya.
Tapi...perempuan ini
berbeda. Pertemuan pertama itu belum juga menyadarkanku bahwa ia nantinya akan
menjadi orang yang penting bagiku. Pertemuan kami dilanjutkan dengan hubungan kerja
antara perusahaan yang kupimpin dengan perusahaannya. Aku yang begitu logis
tidak menganggapnya sebagai kebetulan, maka dari itu ku simpulkan bahwa memang
Tuhan sudah menggariskan jalan bagi kami berdua untuk bertemu kembali. Nah,
lalu siapa yang menyangka bahwa perempuan yang menurutmu begitu menyebalkan
pada awal pertemuan akan menjadi istrimu di masa yang akan datang? Satu tahun
sejak pertemuan pertama itu, cincin berlian dariku telah melingkar indah di
jari manisnya. Kami jatuh cinta dengan cepat, merasakan bahagia dengan cepat,
lalu kehilangan debar-debar itu dengan cepat pula. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa
rasakanlah bahagia pelan-pelan, maka jika suatu saat ia hilang dan berganti
kesedihan, kau tidak akan jatuh terhempas terlalu kuat.
Mungkin
kesalahan terletak padaku yang tidak bisa mentolerir perbedaan kami. Atau mungkin pada pribadi kami yang terlalu bertolak belakang. Adanya
perbedaan justru akan memperindah ikatan suami-istri, bukan? Tapi tidak pada
kami. Begitu banyak perbedaan yang kami tekan saat memutuskan untuk menikah
–dengan harapan agar hubungan ini malah semakin langgeng dengan perbedaan-
malah menjadi bumerang bagi kami sendiri.
“Aku
gak bisa jadi perempuan yang diem aja di rumah. Aku harus kerja!”
Begitulah
katanya saat aku protes ketika jam kerjanya bahkan melebihi aku yang notabene
seorang diretur sebuah perusahaan besar. Aku paham bahwa pekerjaannya sebagai creative director sebuah perusahaan
penyedia jasa periklanan begitu menyita waktu. Ia juga tipe perempuan yang
mandiri dan kuat, namun harga diriku sebagai suami sedikit terhina saat aku
sampai di rumah lebih dulu darinya walaupun hari sudah larut malam. Istri macam
apa yang tidak menyambut kedatangan suaminya dengan segelas kopi atau pijatan
hangat?
“Aku
belum siap dengan komitmen untuk jadi seorang ibu”
Ini
yang paling tidak masuk akal. Bukankah tujuan menikah adalah membina rumah
tangga dan membesarkan keturunan? Setidaknya begitulah yang diajarkan kedua
orangtuaku. Mungkin disanalah letak sisi negatif kemandiriannya. Ia begitu
mencintai karir yang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Begitu cintanya
hingga rela mengorbankan tahun-tahun pertama pernikahan kami tanpa seorang anak
yang begitu ku idam-idamkan. Sekali lagi, aku merasa harga diriku sebagai suami
tercoreng. Ini jelas keinginan sepihak.
Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan saat
sepasang matanya menatapku tajam. Pertengkaran hebat terjadi lagi. Debat kecil yang kemudian berubah menjadi teriakan-teriakan penuh amarah. Ah, aku
sudah begitu muak padanya. Di hadapanku dia tidak lagi se-memesona dulu. Tidak
ada lagi debaran kecil saat kugenggam tangannya. Tidak ada lagi kecupan hangat
menjelang tidur. Ia sudah bukan perempuan manis yang sapaannya kutunggu tiap
pagi. Setiap kali bertengkar hebat, ego kami melesak kuat hingga entah sudah
berapa banyak kata-kata kasar keluar dari mulutku. Ku katakan saja, aku sudah
tidak membutuhkannya. Siapa yang butuh seorang istri egois yang bahkan bisa
dihitung berapa kali menyiapkan sarapan untuk suaminya? Lagipula aku bisa
mendapatkan apapun yang ku mau seperti halnya dia. Kami dua sosok sama namun
begitu berbeda.
Teriakannya
membangunkanku dari mimpi. Menyadarkanku pada kenyataan. Sialan! Apa sebegitu kuatnya sosok perempuan itu hingga akhir-akhir ini sering menjadi
tokoh utama dalam mimpi burukku?
“Mas,
kamu kenapa? Mimpi buruk?”
Kepalaku
menoleh cepat pada perempuan yang berada dalam selimut yang sama denganku
sekarang.
Simpananku.